Enggak pernah nyangka sebelumnya, jika aku berani memutuskan punya anak kedua di usia 35an. Realitanya bukan karena selisih dengan kakaknya 8 tahun, melainkan usia ini dapat dikatakan high risk oleh dokter. Yah, namanya juga siapnya usia segini, tapi ternyata ada hal lain yang harusnya lebih matang untuk dipikirkan. Istilahnya, mental udah aman, tapi fisik? wow jangan dilupakan say.
Januari 2023, adalah awal tahun yang menyenangkan. Aku optimis banget bahwa tahun 2023 akan membawa perubahan besar, terutama karir dan proyeksi kerjaan. Ada benarnya, walaupun enggak sepenuhnya benar. Aku memulai hari-hariku dengan nafas panjang, dan obrolan yang semakin seru bersama Mas Didit dan Alya. Alya sudah makin besar, bisa banget kami tinggal kemana-mana yang bikin kami balik kayak masa pacaran.
Suatu hari di januari 2023, aku kembali merasa mual. Mualnya dibarengi dengan pusing yang sering bikin aku lemas. Aku sering minta makan berkuah, minum es, dan buah. Suatu hari juga, aku maksa banget beli lato-lato di tengah perjalanan habis makan siang. Kata Mas Didit, pada saat tersebut dia yakin kalau perutku ini sudah isi. Dalam hatiku pun juga begitu. Cuma, aku enggak mau gegabah lagi, dan nyaris mikir, "apa asam lambungku kambuh lagi"
Hari demi hari, mualnya makin jadi. Wes lah, daripada menerka-nerka terus, aku putuskan beli test pack lagi, sambil mbatin: "halah kalau ini beneran hamil kali". Maka, di pagi yang cerah dan ketika aku test pack, sebenernya kalau garis dua ya enggak surprise-surprise amat sih, karena tanda-tanda kehamilannya udah makin kerasa. Nah kan, benar saja! Samar-samar terlihat garis dua, meski enggak setegas punya Alya.
Singkatnya, kami memastikan ke Klinik Ibu dan Anak, dan yes: janin sudah berusia 4 minggu. Sempet ditanya sama Dokter tentang kapan terakhir menstruasi. Tapi waktu itu jadwal menstruasiku masih kacau ya, jadi aku jawab seingatnya. Prediksi dokter, Timur akan lahir di tanggal 3 September 2023. Wah, seru juga! Di tahun yang penuh harapan ini, ternyata aku dapat hadiah seru yang bakal makin menyenangkan hari-hariku.
KEHAMILAN
Selama kehamilan, aku enggak fokus ke count the days, tapi make the days count. Aku makin sibuk kerjaan karena perusahaan tempat aku bernaung makin tumbuh besar. Aku harus monitoring dan manage teman-teman produksi dari eTape satu ke eTape lain. Dari pulau satu ke pulau lain. Janinnya enggak berontak kok, justru suka! Suka banget.
Tri semester pertama menurutku adalah hal yang super menyenangkan karena aku bisa makan apa aja, dan sama sekali enggak ngidam. Yah, kalau ada pengen-pengen makan apa, itu sih enggak ngidam. Wong hari-hari enggak hamil saja aku pengenan. Serunya lagi, aku lebih suka masakan rumahan kayak sop, tahu, tempe, ayam goreng, sambal, ikan goreng. Semuanya aku makan lahap tanpa sisa.
Aku enggak lagi mikirin harus makan ikan tiap hari karena aku udah tahu takaran makanan yang terbaik buatku dan janin. Aku enggak maksa minum degan tiap hari kayak waktu hamil Alya, karena justru degan tiap hari lah yang bikin air ketubanku keruh. Aku dengan tegas nolak minum jamu, karena aku paham betul bisa memicu endapan dan bisa berdampak menganggu pernafasan janin. Aku enggak mau terbelenggu dalam mitos yang membuat gila, karena semua bisa dilogika.
Kunci utamanya adalah aku cuek, dan aku fokus ke banyak hal yang membuatku senang. Aku kerja, aku bisa beli apa-apa, di-support anak dan suami, dan anak kedua ini membawa kebahagiaan di mana pun aku berada. Kalau ada yang ngeyel soal mitos ibu hamil dan maksa aku harus melakukannya, tentu aku diam saja dan mentok cuma senyum.
Hal ini dipertegas sama obrolanku dengan Mas Didit, "orang tuh maunya diperhatikan dan maunya diturutin tanpa tahu kondisi orang lain. Sebagai orang lain, kita juga berhak buat nolak dan enggak ambil pusing". Jadi, yang tahu diri kita ya harusnya kita sendiri. Saran didengarkan, ambil baiknya dan buang buruknya. Memang agak susah kalau realitanya ketemu omongan orang tua, tapi di situ kami belajar berkomunikasi dan menganggap semua enggak perlu diperdebatkan. Banyak hal lain yang harus kita pikirkan.
Berbeda dengan kehamilan Alya, hamil kedua ini memang enggak heboh pun termasuk sambutan orang tua dan mertua. Seneng sih seneng, tapi rasanya kok enggak yang hebring kayak waktu pertama. Ada sih mertua datang ke sini selama hampir sebulanan, tapi bukan secara khusus datengin aku, melainkan memang mereka pengen sekalian ke rumah saudara-saudaranya yang lain. Sedangkan orang tuaku sendiri, ya biasa saja. Enggak yang terus memperhatian perubahan bentuk tubuh, juga enggak nanya aku pengen apa.
Enggak, aku enggak nyuruh mereka harus serba memperhatikan, hanya saja, inilah yang nantinya akan membuat kelahiranku enggak luput dari drama, seperti waktu kelahiran Alya.
PEKERJAAN
Mari kita skip dulu soal drama orang tua, nanti aku ceritakan di blogpost berbeda. Balik lagi soal kehamilan yang semakin hari semakin wow gerakan adek sungguh membahana. Dengan tetap memikirkan kerjaan dan menganggap hamil itu bukan penghalang besar, maka kerjaanku mostly aku kerjakan sendirian dan nyaris enggak minta asisten. Capek sih capek, tapi seneng ya gimana ya. Aku menyukai tulisan berbahasa inggrisku yang makin bagus, aku menyukai alur yang smooth, dan shot list yang mampu divisualisasikan oleh teman-teman dengan keren!
Masalah kerjaan datang pada bulan maret-april, tepat waktu mertuaku di sini. Kondisi di lapangan sangat riuh, terkesan enggak matang, dan ngawur dalam mengambil keputusan. Banyak script yang harus dikerjakan di malam hari karena paginya harus syuting, karena banyak perubahan di lapangan. Belum lagi revisi demi revisi yang terjadi nyaris tiap hari. Jadi, gampangnya, aku harus nulis buat besok, tapi yang buat syuting hari ini juga belum tentu fix. Ya apa enggak mampus? Mana aku dianggap cuma sebagai scriptwriter doang, which means, "hello darling, yang menggawangi program ini siapa? Pesan naskah seperti pesan nasi goreng saja?" Ini kalau aku lagi enggak hamil, aku bisa berantem!
Aku marah besar. Benar-benar marah sebesar itu sampai titik aku enggak mau ngomong lagi di grup (sampai sekarang, meskipun sudah baik-baik saja). Untungnya ada suamiku yang juga sering turut andil di perusahaan tempat aku bernaung ini. Awalnya temen-teman pra dan paska enggak ngeh dengan masalah di tim produksi. Hanya saja, karena aku yang paling berdampak, karena temen-temen produksi memang intens dengan creative dan penulis naskah, jadinya ya semua seakan cuma aku yang paling sensitif.
Lalu pada pertengahan eTape Sumatra, aku memutuskan untuk melemparkan naskah ke freelance scriptwriter. Itu temenku juga sih, dan ya namanya juga freelancer, kadang ya sudah yang penting cepet. Nyawa program dan ambisi untuk membuat tayangan bermutu agak dikesampingkan, mengingat deadline yang enggak masuk akal. Pada akhirnya, aku sadar bahwa masalah yang terjadi di lapangan, memang karena tim produksinya sendiri juga enggak seintens biasanya. Ketika aku tanyai satu-satu kenapa bisa se-chaos ini, aku lantas menemukan jawaban yang sebetulnya sudah aku prediksi: ada sesuatu kesalahan dari salah satu kru yang dinormalisasi. YA SUDAH, KALAU SUDAH BEGITU, ETAPE HARUS SEGERA DITUNTASKAN, BARU AKU BISA BABAT HABIS KETIKA SUDAH SELESAI SYUTING.
Singkat cerita, karena aku memutuskan diam dan sempat dikira sensitif karena hamil, tim berkumpul untuk evaluasi. Di sana, mendadak lidahku kelu bukan main. Janin di perut seakan membuat aku kalem dan nyuruh aku mengambil nafas panjang. Aku cuma ngomong beberapa kalimat doang, kemudian dilanjutkan oleh suamiku dengan catatan di notesnya. Semua tampak hening dan aku tahu enggak semua orang terbuka dan mau mengakui kesalahan. Pada intinya, aku enggak mau hal ini terjadi lagi ke depannya. Dan sejauh kami mengembangkan perusahaan ini, eTape Sumatra dapat dikatakan gagal. Yah, kalau boleh jujur, gara-garanya cuma 1 orang yang benar-benar membawa petaka besar. Memang aku yang menghire dia, cuma dianya juga yang enggak menghormati aku, enggak menghormati atasannya yang lain, serta berkomunikasi seperti orang jalanan.
Capek sebetulnya ngomongin ini. Tapi mari kita move ke masalah lain lagi. Di sisi lain, ada keluargaku yang banyak menaruh harap denganku. Aku mengajak adikku sebagai asisten penulis naskah karena aku sering keteteran. Sudah terhitung setahun, dan waktu eTape Sumatra memang aku lempar cuma beberapa naskah saja. Gimana ya jelasinnya. Yang menaruh harap padaku tuh banyak betul. Belum adik sendiri, belum temen yang minta kerjaan terus. Jadi yaaah, aku harus pintar-pintar membagi kerjaan supaya seimbang dan merata.
Nah, karena aku ajak adikku menjadi asisten, maka otomatis orang tuaku berharap besar supaya adikku ada kerjaan tetap dan terus-terusan. Mereka sama sekali tidak memikirkan capeknya aku bikin ide program, capek sama komunikasi yang jelek di lapangan, dan capek dengan kondisi kehamilan. Mereka sama sekali menutup mata dan seakan cuma menuntut adikku dapat penghasilan. Aku paham mereka berpisah dan adikku jadi anak paling gagal di keluarga. Dia tidak kuliah seperti kakaknya, dia tidak punya tempat untuk berharap, dan dia bahkan harus minum obat buat anxietynya.
Tapi kalau ngomongin kesehatan mental, memangnya aku apa enggak nyaris gila? Memangnya aku enggak punya masalah besar? Memangnya jalan hidupku mulus-mulus saja? Apa semua orang tahu gimana rasanya dicaci maki di depan orang banyak? Apa semua orang tahu aku sering nyasar di kota besar waktu nyari kerjaan? Apa semua orang tahu aku sering nangis di tengah perjalanan karena enggak tahu kemana aku harus pulang?
Mentang-mentang anak pertama kok kudu bisa menanggung beban. Kok harus banget bertanggungjawab atas apa yang tidak aku lakukan. Kok harus minta maaf padahal aku tidak melakukan kesalahan. Istilahnya, anak pertama itu ketiban sampur ya. Kalau dilogika, sudah ujug-ujug jadi anak pertama, harus jadi pendekar pula buat keluarganya. Mana sering enggak didengarkan keluh kesahnya. Sandwich generation yang enggak masuk akal memang.
Pada kehamilan kedua ini, Tuhan seakan memberiku petunjuk besar. bahwa banyak orang di sekitarku yang hanya mau memanfaatkan. Ditunjukkan juga mana yang niat baik dan mana yang aslinya baik di depan. Wah, aku pikir hamil kedua akan berjalan lancar sayang, ternyata jauuuh lebih drama ketimbang kehamilan pertama.
Namun begitu, sejujurnya aku sendiri merasa tubuhku baik-baik saja. Cuma perlu diakui, berat badan kali ini bertambah gendats dan sempoyongan. Agak ngos-ngosan memang, tapi aman. Aku enggak pernah rewel, meskipun tiap malam mandatory-nya harus dipijetin kaki, apalagi sejak usia janin masuk ke tri semester kedua. Makin hari makin berat saja.
Aku baru nemu ritme enak ketika memasuki kehamilan umur 4 bulan. Aku udah jarang mual, dan udah mulai rajin olahraga meskipun seringnya olahraga di rumah saja. Aku beli tuh gym ball buat digunain waktu hamil 5 bulan ke atas. Waktu itu masih berharap agar bisa lahiran normal.
Oh iya, mulai tri semester kedua, aku juga udah lumayan rajin ngonten. Lumayan ih dapat produk-produk skincare dan ada pemasukan lain. Cuma kadang moodku emang ambyar. Kadang tuh ada rasa males buat dandan, buat cantik-cantikan, yang bikin aku yakin aku tuh hamil cowok beneran. Jadi kalau kalian lihat aku dandan, aku bikin konten, itu aku paksaaa haha!
MEMUTUSKAN LAHIRAN DIMANA
Kehamilan Timur ini sebetulnya well prepared, terlebih soal mau melahirkan dimana. Pada awalnya, aku pengen lahiran di klinik dekat rumah, dengan Obgyn yang pro normal. Iya, aku pengen VBAC, mengingat jaraknya dengan anak pertama saja 8 tahun. Tapi ternyata syarat VBAC tidak segampang itu karena aku harus mematuhi beberapa syarat dan ketentuan yang kudu dimonitoring sepanjang kehamilan. Jadi bukan cuma jarak kehamilan saja, tapi juga tekanan darah, riwayat penyakit, usia ibu hamil, dan banyak hal yang bikin aku ngeper duluan. Pun sama Dokter juga disarankan agar aku melahirkan di Rumah Sakit, bukan klinik. Alias misal harus second opinion caesar, langsung ada tindakan.
Dari hal tersebut, aku dan suami sepakat menggunakan BPJS Kesehatan karena ya keleus cuy enggak pernah dipakai. Pengen juga nyobain fasilitas kesehatan umum. Lumayan banget kalau bisa, dan budget lahirannya bisa dialokasikan ke tabungan atau tambah-tambah buat aqiqahan. Maklumlah, anaknya cowok, kambingnya dua.
Kamipun bergerak cepat ke faskes pertama yaitu Puskesmas dan rutin kontrol per bulan sekali. Diperiksanya memang sama Bidan. Bidan memprediksi HPL 10 September, agak jauh sama prediksi Obgyn pertama. Nah, kok enggak langsung Obgyn? Jadi, nanti ketika memasuki usia 7 bulan, baru lanjut ke Dokter umum, di mana beliaulah yang akan mengarahkan kita bisa lahiran normal atau caesar. Jujur saja, pelayanan BPJS enak kok. Sekarang udah enggak terlalu didiskriminatif oleh beberapa oknum. Semua pelayan kesehatan benar-benar nyaman. Aku jadi merasa percaya diri dan mantap buat lahiran pakai BPJS.
Singkatnya, aku ngerasa susah bener buat lahiran normal. Ya gimana enggak? HB-ku pernah ngedrop dan pernah juga kekurangan darah. Jadi ketika kehamilan berusia 34 weeks setelah diperiksa dokter umum, aku pun dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah. Di RSUD inilah, aku bertemu dengan Obgyn. Prediksi beliau, aku akan lahiran pada 1 September. Kemudian beliau sempat bertanya padaku mau coba normal atau langsung caesar. Aku dan suami bilang pasrah aja deh, misal bisa normal ya hayuk, enggak ya sudah, hahaha.
Dan ternyata, pada kehamilan 36 weeks, janinku terlilit tali pusar. Yak baguuus! Memasuki HPL malah belibet ini dek. Padahal aku udah rutin pakai gym ball, berusaha sebisa mungkin tiap hari olahraga ringan, dan makan yang sehat bergizi. Sudah, semua sudah kulakukan. Tapi apa daya jika begini jalannya. Caesar lagi, ya sudah enggak apa-apa. Aku siap semuanya.
Bukankah yang penting aku dan janinku sehat? Bukankah semua cara lahiran itu disebut normal? Bukankah aku tetap bernama Ibu meskipun aku caesar?
Next aku ceritain kisah lahiranku di blogpost terpisah ya!