POSTPARTUM? SAYA PERNAH!
Enggan rasanya bercerita tentang masalah usang dan sudah saya kubur lama. Tetapi ternyata masih banyak komentar dan inbox tentang baby blues dan mastitis yang pernah saya alami. Sejujurnya, yang saya tulis masih lumayan singkat dan lebih logis. Saya sengaja supaya pembaca lebih mudah memahami dan ketertarikan membaca lebih banyak. Saya percaya pada kekuatan saling berbagi, semua masalah bisa terobati.
Berikut pengalaman saya menghadapi postpartum dan yakinlah, saya berusaha tidak menangis mengingat kejadian ini.
Adalah saya dan suami yang setelah menikah langsung dipercaya sama Gusti dengan diberikanNya calon anak. Kebahagiaan itu saya dukung dengan rutin periksa Obgyn, giat senam hamil, praktek inhale exhale dan baca-baca tentang metode persalinan normal. Sungguh saya merasa takjub luar biasa merasakan tendangan mungilnya dengan rasa cinta yang dalam. Merasa tertantang dan ingin membuktikan bahwa hamil itu merupakan kekuatan bukan kelemahan, saya masih bekerja freelance mengurus beberapa Film Dokumenter dan Sinetron hingga kehamilan 39 minggu. Pergi pagi dan pulang larut saya lakukan dengan senang hati, mengajak anak bercanda dan menceritakan semua yang saya alami. Dibenak saya, anak harus kuat dan tidak manja.
Kemudian mertua saya datang ke sebuah kontrakan mungil dengan 1 kamar, dapur, kamar mandi dan ruang tamu ini dengan tangan terbuka untuk mengurus segalanya. Kebutuhan barang, perabot, hingga mobil dipersiapkan untuk menyambut malaikat kecil pujaan hati. Hingga nantinya sadari, situasi sempit inilah yang menyebabkan friksi.
Jauh sebelum melahirkan, saya pesan sama Mas Suami agar kita mandiri, termasuk tidak perlu banyak sodara datang dan menjadi penyemangat. Buat saya itu energi tapi sangat merepotkan. Rasa mulas yang disebut kontraksi ini dimulai jam 10 malam, dan timbul bercak. Saya merasa siap dengan mempersiapkan diri istirahat supaya besok pagi punya lebih banyak nyali. Tapi pada jam 12 malam, mertua mengajak kami ke Rumah Sakit untuk periksa. Sampai di RS, ternyata baru bukaan setengah dan disarankan langsung buka kamar supaya tidak antri. Kami pesan kamar VIP 2 supaya privat, namun karena antri, kami harus semalam menginap di kamar kelas 3, yang artinya ada 2 orang penghuni. Saya dan Mas Suami tidak bisa tidur sepanjang malam karena sebelah saya ternyata sudah melahirkan. Anaknya menangis tiap 2 jam sekali untuk disusui, disitu saya merasa harus siap menggempur anak dengan ASI.
Jam 10 malam, saya diperiksa sudah bukaan lengkap dan Dokterpun datang. Mama, Papa, mertua dan para sodara stand by ingin menyaksikan moment bahagia ini. Semangat saya menggebu-menunggu ketuban yang tidak kunjung pecah. Ternyata begitu dipecah oleh Suster, ketuban saya keruh berwarna hijau neon. Saya diberi waktu setengah jam untuk mengeluarkan bayi saya secara spontan. Namun ternyata takdir berkata lain, setelah Dokter menyarankan Caesar karena bayi tidak kunjung keluar. Harapan untuk melahirkan normal redup sudah.
Saat masuk ruang operasi, saat itulah saya menyadari bahwa baby blues dimulai.
Penyayatan perut saya untuk mengeluarkan si jabang bayi hanya berlangsung 5 menitan. Perasaan lega mendengar jerit tangisannya. Saya ngga tau lagi mau ngomong apa waktu itu, bahagia rasanya mendapati seorang anak yang saya kangeni sebelumnya. Kangen yang luar biasa, kangen dengan orang yang belum pernah bertemu sebelumnya. Bayi dengan berat sebesar 3,2 kg dan panjang 46 cm melihat mata saya langsung begitu ditempelkan ke dada saya untuk menyusu. Air mata senang campur geli campur sakit saya rasakan waktu melihat bayi yang pintar menyusu langsung.
Malam pertama sesudah melahirkan, bayi tidak langsung room in. Saya ditunggui oleh Mama serta adek perempuan, karena Suami harus mempersiapkan rumah dan mengubur ari-ari. Walopun saya melahirkan secara C-sectio, semua keluarga nampak legowo dan menerima apa adanya. Mama adalah orang kedua setelah Mas Suami yang menjadi penyemangat dan pendorong agar saya jadi orang tangguh. Melihat kepedulian Mama, saya yakin selalu ada esok hari.
Pagi yang saya kira menjadi lebih cerah, tiba-tiba menjadi buram ketika Mama bilang:
"Mama udah ngajuin cerai ke papa. Tinggal menunggu proses dan sidang yang secepatnya berlangsung"
Luka jahitan yang belum kering ini benar-benar terasa lebih sakit dan saya hanya diam pasrah. Berpikir apa yang akan terjadi hari-hari nanti? Apa respon mertua saya? Bagaimana masa depan mereka? Beratus pertanyaan hinggap dan berputar di kepala saya, mengingat saya baru memberikannya kado spesial untuk mereka, CUCU PERTAMA.
Saya lemah tidak berdaya, semua terasa tidak bernyawa
Setelah keluar dari rumah sakit, saya langsung dihajar dengan kegiatan-kegiatan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Termasuk menerima tamu siang malam, mengganti popok terus-terusan, ritual mandi yang menyiksa, konsumsi obat dan makanan yang berlebihan.
Pernah saya menangis gara-gara melihat Mas Suami seharian mencuci, menjemur dan setrika baju. Menyibukkannya dengan berbagai macam pekerjaan rumah tangga berarti menghentikan produktivitas mendesainnya, ya, pemasukan kami otomatis menurun bahkan nyaris tidak ada!
Suasana semakin keruh karena saya mengundurkan diri untuk mengurus sebuah project Film Pendek yang didanai Pemerintah Daerah, tentu saja karena luka sayatan saya belum sembuh benar. Artinya, kami konsen mengurus anak, tapi keuangan benar-benar 0 saldo.
Padahal, mertua dan orang tua saya bergantian mengurus rumah tangga ini. Jika mama saya datang, mertua bisa sementara pindah di rumah sodara dekat. Dan ini juga tidak kalah peliknya, mengetahui perceraian kedua orang tua saya, mertua jadi tidak menaruh respek sama sekali. Hal ini sangat kami benci.
Beribu masalah kian hari kian berganti, Tuhan benar-benar membuka mata kami untuk bertahan dari semua perbedaan
Kami berencana menamai anak kami Shreya Estungkara Chandra, sebuah nama sanskrit hasil diskusi dengan suami yang berarti indah, mengatasi masalah, dan Chandra dari nama suami. Nama itu kemudian diperdebatkan lumayan sengit oleh keluarga kami. Nama yang ngga menurut Islam, nama yang aneh dan susah!
Lucunya, kami hanya membisu seperti patung yang sudah sangat rapuh. Mau battle nanti tambah runyam, mau pertahanin juga itu masukan. Kemudian saya cari-cari nama yang agak Islami, biar netral.
Terpilihlah Aliyah Yasmina Chandra (Yang ditinggikan, harum dan pintar), namun lagi-lagi nama Aliyah tidak berkenan, mertua lebih memilih Alya-lebih indonesia. Habis rasanya hati saya, apalagi suami terkesan cuek. Saya yakin, dalam hatinya menyimpan sejuta teriakan yang ingin dia luapkan entah dimana.
Saya hampir tidak ingat lagi apa yang beruntun terjadi, yang jelas saat itu saya hampir diinsisi untuk mengatasi mastitis. Semua saran sudah saya lakukan, dan semua perhatian berubah jadi beban. Depresi makin hari makin jadi, saya ingin sendiri. Lelah, benar-benar lelah.
Ketika semua terlelap, disitulah saya sebenarnya sedang berjaga dan menanti malaikat maut yang siap menjemput.
Hampir sekarat karena emosi yang saya pendam plus sakit fisik dan tekanan mental, malam itu saya seakan berperang melawan ego negatif di diri saya. Hebatnya, air mata ini sudah tidak keluar lagi, pertanda saya sudah lelah dan pasrah.
Saya terpukul dengan semua kegiatan yang menjenuhkan dan tidak dapat dilawan ini. Mana saya yang biasa handle puluhan orang dengan gampang? Mana saya yang katanya pintar mengatur waktu dengan hal-hal yang bermutu? Mana saya yang tegas? Mana saya yang tidak gampang menyerah?
Dengan masih memakai masker untuk menutupi mulut dan hidung saya karena flu, ritual menyusui tiap 2 jam sekali saya lakukan sebagai konsekuensi. Cara inilah yang akhirnya menjadi obat luka saya yang terdalam.
Rutin menyusui dan pelekatan yang baik dengan anak adalah penyembuh mastitis nomor satu.
Akhirnya saya menyadari, bayi saya tidak pernah ada komplain apa-apa, tidak ada rewel sama sekali, dia diam seribu bahasa, dia mengerti, dan dia membutuhkan saya.
Paginya saya minta pelukan terhangat dari Mas Suami dan segala perasaan saya luapkan. Saya berusaha sekomunikatif mungkin dan takut menyinggung siapapun. Termasuk akhirnya Mas Suami mengakui bahwa dia juga pernah ingin pergi melarikan diri. Namun akhirnya dia batalkan karena melihat saya terlunta. Dia merasa salah besar.
Saya beruntung, tidak ada kecenderungan perilaku ekstrim saya terhadap bayi maupun diri sendiri.
Penyakit saya ini ternyata dinamakan Depresi Post patrum, tahapnya diatas baby blues dan dibawah psychosis post partum. Depresi ini saya alami selama kurang lebih sebulan dan pelan-pelan menghilang seiring dengan akhirnya saya bisa menyanyi di kamar mandi. Memutuskan pindah rumah, dengan pahit manis hanya hidup bertiga.
Rasa sesak nafas yang sering menganggu bisa diatasi dengan pelukan hangat dari si bayi. Masalah orang tua yang akhirnya resmi bercerai biar tidak menjadi tanggung jawab kami. Masalah mertua yang punya aturan sendiri, biarlah kami punya rumah tangga sendiri. Saya pulih karena saya sadar dunia tidak sedang menunggu, apakah kita mau berlarut-larut dalam sebuah kondisi yang menekan mental atau kita harus keluar dan cari solusi untuk kehidupan yang lebih baik? Saya rasa semua pasti setuju pilihan terakhir.
Saat Alya berumur 4 bulan, kami sempat tinggal bersama Mama dan Papa lengkap dalam satu rumah. Tepatnya rumah lama kami di Magelang. Namun kami tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Saya cuma ingin fokus dan berusaha menjadi penengah mereka. Dan akhirnya kami pindah rumah supaya lebih nyaman bertiga. Disusul Mama yang memutuskan pindah rumah juga di komplek yang berdekatan dengan kami.
Saya ngga menyalahkan siapapun pada pengalaman saya ini. Saya sadar bahwa yang benar berawal dari kesalahan. Dan saya ingin jika saya mempunyai anak lagi, penyakit ini sudah tak mempan merasuki saya lagi.
*hidup ini adalah tentang apa yang kamu pilih
Salam Tangguh untuk semua Ibu,
bagaimana ceritamu?
Berikut pengalaman saya menghadapi postpartum dan yakinlah, saya berusaha tidak menangis mengingat kejadian ini.
Adalah saya dan suami yang setelah menikah langsung dipercaya sama Gusti dengan diberikanNya calon anak. Kebahagiaan itu saya dukung dengan rutin periksa Obgyn, giat senam hamil, praktek inhale exhale dan baca-baca tentang metode persalinan normal. Sungguh saya merasa takjub luar biasa merasakan tendangan mungilnya dengan rasa cinta yang dalam. Merasa tertantang dan ingin membuktikan bahwa hamil itu merupakan kekuatan bukan kelemahan, saya masih bekerja freelance mengurus beberapa Film Dokumenter dan Sinetron hingga kehamilan 39 minggu. Pergi pagi dan pulang larut saya lakukan dengan senang hati, mengajak anak bercanda dan menceritakan semua yang saya alami. Dibenak saya, anak harus kuat dan tidak manja.
Kemudian mertua saya datang ke sebuah kontrakan mungil dengan 1 kamar, dapur, kamar mandi dan ruang tamu ini dengan tangan terbuka untuk mengurus segalanya. Kebutuhan barang, perabot, hingga mobil dipersiapkan untuk menyambut malaikat kecil pujaan hati. Hingga nantinya sadari, situasi sempit inilah yang menyebabkan friksi.
Jauh sebelum melahirkan, saya pesan sama Mas Suami agar kita mandiri, termasuk tidak perlu banyak sodara datang dan menjadi penyemangat. Buat saya itu energi tapi sangat merepotkan. Rasa mulas yang disebut kontraksi ini dimulai jam 10 malam, dan timbul bercak. Saya merasa siap dengan mempersiapkan diri istirahat supaya besok pagi punya lebih banyak nyali. Tapi pada jam 12 malam, mertua mengajak kami ke Rumah Sakit untuk periksa. Sampai di RS, ternyata baru bukaan setengah dan disarankan langsung buka kamar supaya tidak antri. Kami pesan kamar VIP 2 supaya privat, namun karena antri, kami harus semalam menginap di kamar kelas 3, yang artinya ada 2 orang penghuni. Saya dan Mas Suami tidak bisa tidur sepanjang malam karena sebelah saya ternyata sudah melahirkan. Anaknya menangis tiap 2 jam sekali untuk disusui, disitu saya merasa harus siap menggempur anak dengan ASI.
Jam 10 malam, saya diperiksa sudah bukaan lengkap dan Dokterpun datang. Mama, Papa, mertua dan para sodara stand by ingin menyaksikan moment bahagia ini. Semangat saya menggebu-menunggu ketuban yang tidak kunjung pecah. Ternyata begitu dipecah oleh Suster, ketuban saya keruh berwarna hijau neon. Saya diberi waktu setengah jam untuk mengeluarkan bayi saya secara spontan. Namun ternyata takdir berkata lain, setelah Dokter menyarankan Caesar karena bayi tidak kunjung keluar. Harapan untuk melahirkan normal redup sudah.
Saat masuk ruang operasi, saat itulah saya menyadari bahwa baby blues dimulai.
Penyayatan perut saya untuk mengeluarkan si jabang bayi hanya berlangsung 5 menitan. Perasaan lega mendengar jerit tangisannya. Saya ngga tau lagi mau ngomong apa waktu itu, bahagia rasanya mendapati seorang anak yang saya kangeni sebelumnya. Kangen yang luar biasa, kangen dengan orang yang belum pernah bertemu sebelumnya. Bayi dengan berat sebesar 3,2 kg dan panjang 46 cm melihat mata saya langsung begitu ditempelkan ke dada saya untuk menyusu. Air mata senang campur geli campur sakit saya rasakan waktu melihat bayi yang pintar menyusu langsung.
Malam pertama sesudah melahirkan, bayi tidak langsung room in. Saya ditunggui oleh Mama serta adek perempuan, karena Suami harus mempersiapkan rumah dan mengubur ari-ari. Walopun saya melahirkan secara C-sectio, semua keluarga nampak legowo dan menerima apa adanya. Mama adalah orang kedua setelah Mas Suami yang menjadi penyemangat dan pendorong agar saya jadi orang tangguh. Melihat kepedulian Mama, saya yakin selalu ada esok hari.
Pagi yang saya kira menjadi lebih cerah, tiba-tiba menjadi buram ketika Mama bilang:
"Mama udah ngajuin cerai ke papa. Tinggal menunggu proses dan sidang yang secepatnya berlangsung"
Luka jahitan yang belum kering ini benar-benar terasa lebih sakit dan saya hanya diam pasrah. Berpikir apa yang akan terjadi hari-hari nanti? Apa respon mertua saya? Bagaimana masa depan mereka? Beratus pertanyaan hinggap dan berputar di kepala saya, mengingat saya baru memberikannya kado spesial untuk mereka, CUCU PERTAMA.
Saya lemah tidak berdaya, semua terasa tidak bernyawa
Setelah keluar dari rumah sakit, saya langsung dihajar dengan kegiatan-kegiatan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Termasuk menerima tamu siang malam, mengganti popok terus-terusan, ritual mandi yang menyiksa, konsumsi obat dan makanan yang berlebihan.
Pernah saya menangis gara-gara melihat Mas Suami seharian mencuci, menjemur dan setrika baju. Menyibukkannya dengan berbagai macam pekerjaan rumah tangga berarti menghentikan produktivitas mendesainnya, ya, pemasukan kami otomatis menurun bahkan nyaris tidak ada!
Suasana semakin keruh karena saya mengundurkan diri untuk mengurus sebuah project Film Pendek yang didanai Pemerintah Daerah, tentu saja karena luka sayatan saya belum sembuh benar. Artinya, kami konsen mengurus anak, tapi keuangan benar-benar 0 saldo.
Padahal, mertua dan orang tua saya bergantian mengurus rumah tangga ini. Jika mama saya datang, mertua bisa sementara pindah di rumah sodara dekat. Dan ini juga tidak kalah peliknya, mengetahui perceraian kedua orang tua saya, mertua jadi tidak menaruh respek sama sekali. Hal ini sangat kami benci.
Beribu masalah kian hari kian berganti, Tuhan benar-benar membuka mata kami untuk bertahan dari semua perbedaan
Kami berencana menamai anak kami Shreya Estungkara Chandra, sebuah nama sanskrit hasil diskusi dengan suami yang berarti indah, mengatasi masalah, dan Chandra dari nama suami. Nama itu kemudian diperdebatkan lumayan sengit oleh keluarga kami. Nama yang ngga menurut Islam, nama yang aneh dan susah!
Lucunya, kami hanya membisu seperti patung yang sudah sangat rapuh. Mau battle nanti tambah runyam, mau pertahanin juga itu masukan. Kemudian saya cari-cari nama yang agak Islami, biar netral.
Terpilihlah Aliyah Yasmina Chandra (Yang ditinggikan, harum dan pintar), namun lagi-lagi nama Aliyah tidak berkenan, mertua lebih memilih Alya-lebih indonesia. Habis rasanya hati saya, apalagi suami terkesan cuek. Saya yakin, dalam hatinya menyimpan sejuta teriakan yang ingin dia luapkan entah dimana.
Saya hampir tidak ingat lagi apa yang beruntun terjadi, yang jelas saat itu saya hampir diinsisi untuk mengatasi mastitis. Semua saran sudah saya lakukan, dan semua perhatian berubah jadi beban. Depresi makin hari makin jadi, saya ingin sendiri. Lelah, benar-benar lelah.
Ketika semua terlelap, disitulah saya sebenarnya sedang berjaga dan menanti malaikat maut yang siap menjemput.
Hampir sekarat karena emosi yang saya pendam plus sakit fisik dan tekanan mental, malam itu saya seakan berperang melawan ego negatif di diri saya. Hebatnya, air mata ini sudah tidak keluar lagi, pertanda saya sudah lelah dan pasrah.
Saya terpukul dengan semua kegiatan yang menjenuhkan dan tidak dapat dilawan ini. Mana saya yang biasa handle puluhan orang dengan gampang? Mana saya yang katanya pintar mengatur waktu dengan hal-hal yang bermutu? Mana saya yang tegas? Mana saya yang tidak gampang menyerah?
Dengan masih memakai masker untuk menutupi mulut dan hidung saya karena flu, ritual menyusui tiap 2 jam sekali saya lakukan sebagai konsekuensi. Cara inilah yang akhirnya menjadi obat luka saya yang terdalam.
Rutin menyusui dan pelekatan yang baik dengan anak adalah penyembuh mastitis nomor satu.
Akhirnya saya menyadari, bayi saya tidak pernah ada komplain apa-apa, tidak ada rewel sama sekali, dia diam seribu bahasa, dia mengerti, dan dia membutuhkan saya.
Paginya saya minta pelukan terhangat dari Mas Suami dan segala perasaan saya luapkan. Saya berusaha sekomunikatif mungkin dan takut menyinggung siapapun. Termasuk akhirnya Mas Suami mengakui bahwa dia juga pernah ingin pergi melarikan diri. Namun akhirnya dia batalkan karena melihat saya terlunta. Dia merasa salah besar.
Saya beruntung, tidak ada kecenderungan perilaku ekstrim saya terhadap bayi maupun diri sendiri.
Penyakit saya ini ternyata dinamakan Depresi Post patrum, tahapnya diatas baby blues dan dibawah psychosis post partum. Depresi ini saya alami selama kurang lebih sebulan dan pelan-pelan menghilang seiring dengan akhirnya saya bisa menyanyi di kamar mandi. Memutuskan pindah rumah, dengan pahit manis hanya hidup bertiga.
Rasa sesak nafas yang sering menganggu bisa diatasi dengan pelukan hangat dari si bayi. Masalah orang tua yang akhirnya resmi bercerai biar tidak menjadi tanggung jawab kami. Masalah mertua yang punya aturan sendiri, biarlah kami punya rumah tangga sendiri. Saya pulih karena saya sadar dunia tidak sedang menunggu, apakah kita mau berlarut-larut dalam sebuah kondisi yang menekan mental atau kita harus keluar dan cari solusi untuk kehidupan yang lebih baik? Saya rasa semua pasti setuju pilihan terakhir.
Saat Alya berumur 4 bulan, kami sempat tinggal bersama Mama dan Papa lengkap dalam satu rumah. Tepatnya rumah lama kami di Magelang. Namun kami tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Saya cuma ingin fokus dan berusaha menjadi penengah mereka. Dan akhirnya kami pindah rumah supaya lebih nyaman bertiga. Disusul Mama yang memutuskan pindah rumah juga di komplek yang berdekatan dengan kami.
Saya ngga menyalahkan siapapun pada pengalaman saya ini. Saya sadar bahwa yang benar berawal dari kesalahan. Dan saya ingin jika saya mempunyai anak lagi, penyakit ini sudah tak mempan merasuki saya lagi.
*hidup ini adalah tentang apa yang kamu pilih
Salam Tangguh untuk semua Ibu,
bagaimana ceritamu?
0 komentar