AKRAB DENGAN MERTUA
Judulnya?
Lho eh?
Kok?
Serius?
Halooo...?
Iyaaaa! Judulnya ngga salah kok. Sebelum ngepost ini aku yakin bahwa akan banyak pertanyaan kayak di atas. Dan dari rasa paling dalam, aku emang pernah merasa males sama aturan-aturan yang berbeda dari mertua.
Punya mertua itu ibarat kita menyukai Burger mahal di sebuah resto yang belinya kudu sepaket sama salad sayur yang bikin kita eneg. Nah, apakah salad sayur yang justru menyehatkan itu mau kita buang?
Akhirnya, makanlah kita si salad sayur yang-walopun-ngga-kita-sukai-tetep masuk ke perut.
Untuk berkomitmen dan melangkah ke status suami isteri itu harus melewati tahapan perkenalan dengan masing-masing orang tua. Waduh... sebuah tahapan yang benar-benar membahayakan bagi sebuah hubungan. Rasa deg-degan dan takut pasti banyak dirasakan oleh kita, ya ngga? Mau ngga mau, setuju ngga setuju, penting ngga penting, cocok ngga cocok, tahapan untuk kenal lebih dekat harus dijalani.
Aku nih contohnya. Dari awal kenal mertua, aku udah menemukan sekitar lima ratus tujuh puluh dua ribu empat ratus delapan belas perbedaan aturan.
Misalnya: cara mengambil nasi di magic com antara orangtua dan mertua aja berbeda. Orangtua mengambil nasi dengan tetap meratakan nasi sesudahnya, kata mama, supaya tidak terkesan 'nurahi'. Lain dengan mertua, mengajarkan kalo ambil nasi dengan cara dibelah, jadi kayak motong kue, kata mertua, supaya rapi.
Lhah? Trus kepiye?
Awalnya salah satu masalah dari sekian ratus ribu perbedaan aturan ini bikin pikiranku salto dan muka cemberut ngga habis-habis. Suami saya saksinya! Karena dia adalah pelampiasan nggerundel aku. Hahaha.
Mertuaku jauh, paling banter ketemu tiga kali setahun. Jadi begitu ketemu dalam waktu yang lama, nampaklah secara nyata akan perbedaan aturan itu, yang ngga jarang bikin kami sinis-sinis-an. Eh iya bener. Yang paling parah pas abis lahiran. Aturan mereka yang kami anggep kuno itu menyebabkan aku sempat baby blues hebat. Benar-benar hal terparah yang pernah aku alami deh.
Kemudian aku ambil hikmahnya, kalo misal aku ngga komunikasikan ketidaksetujuan kami tentang aturan mertua, mungkin hubungan ini malah tambah kacau dan ngga akan pernah sedekat ini sama mereka.
Benar! Komunikasi kunci utamanya.
Komunikasi itu juga harus tepat waktu. Ada saat yang tepat dan dengan penyampaian yang terbaik pasti kita nemu celah untuk 'berbaikan' dengan mertua. Aku yakin kok, mereka juga pasti menganggap kita anak sendiri. Sama kayak kita, mau ngga mau, suka ngga suka, cocok ngga cocok.
Oke oke... susah memang. Toh aku ngga berbicara ini gampang. Wong aku sendiri aja cucah anet mau ngakuin kalo mertua itu kayak orang tua sendiri. Perlu berhari-hari untuk bisa menelaah, memahami, dan akhirnya merangkul aturan layaknya rumah sendiri.
Terlebih karena orang tua saya bercerai, aku jadi merasa mempunyai 'rumah' lain untuk pulang. Walopun posisi mama papa kandung tak akan tergantikan, tetapi mertua adalah rumah kedua untuk pulang. Karena semua punya porsinya masing-masing.
Udahlah, bagaimanapun sikap yang kita tunjukkan, perasaan apapun yang akan diungkapkan, namanya mertua, suatu saat kita toh bakal bertemu lagi entah kapan.
Apa ngga boros bin Mubazir?
Kira-kira begitu.
Lama-lama aku cuek juga, dibikin gampang aja deh. Kalo lagi di rumah orang tua ya ikutin aturan orang tua, kalo di rumah mertua ya kudu patuh sama aturannya. Kalo di rumah sendiri? Suka-suka kami. Kami udah punya aturan rumah tangga kami, huh! *tangan sedekap
Masak mau kita pendam sampai beribu tahun lamanya? Buat apa? Kita kan juga ngga mau kalo nantinya digituin sama menantu?
*Mama Papa mertua, saya kangen ke Pangkalan Bun...
Punya mertua itu ibarat kita menyukai Burger mahal di sebuah resto yang belinya kudu sepaket sama salad sayur yang bikin kita eneg. Nah, apakah salad sayur yang justru menyehatkan itu mau kita buang?
Akhirnya, makanlah kita si salad sayur yang-walopun-ngga-kita-sukai-tetep masuk ke perut.
Untuk berkomitmen dan melangkah ke status suami isteri itu harus melewati tahapan perkenalan dengan masing-masing orang tua. Waduh... sebuah tahapan yang benar-benar membahayakan bagi sebuah hubungan. Rasa deg-degan dan takut pasti banyak dirasakan oleh kita, ya ngga? Mau ngga mau, setuju ngga setuju, penting ngga penting, cocok ngga cocok, tahapan untuk kenal lebih dekat harus dijalani.
Aku nih contohnya. Dari awal kenal mertua, aku udah menemukan sekitar lima ratus tujuh puluh dua ribu empat ratus delapan belas perbedaan aturan.
Misalnya: cara mengambil nasi di magic com antara orangtua dan mertua aja berbeda. Orangtua mengambil nasi dengan tetap meratakan nasi sesudahnya, kata mama, supaya tidak terkesan 'nurahi'. Lain dengan mertua, mengajarkan kalo ambil nasi dengan cara dibelah, jadi kayak motong kue, kata mertua, supaya rapi.
Lhah? Trus kepiye?
Awalnya salah satu masalah dari sekian ratus ribu perbedaan aturan ini bikin pikiranku salto dan muka cemberut ngga habis-habis. Suami saya saksinya! Karena dia adalah pelampiasan nggerundel aku. Hahaha.
Mertuaku jauh, paling banter ketemu tiga kali setahun. Jadi begitu ketemu dalam waktu yang lama, nampaklah secara nyata akan perbedaan aturan itu, yang ngga jarang bikin kami sinis-sinis-an. Eh iya bener. Yang paling parah pas abis lahiran. Aturan mereka yang kami anggep kuno itu menyebabkan aku sempat baby blues hebat. Benar-benar hal terparah yang pernah aku alami deh.
Kemudian aku ambil hikmahnya, kalo misal aku ngga komunikasikan ketidaksetujuan kami tentang aturan mertua, mungkin hubungan ini malah tambah kacau dan ngga akan pernah sedekat ini sama mereka.
Benar! Komunikasi kunci utamanya.
Komunikasi itu juga harus tepat waktu. Ada saat yang tepat dan dengan penyampaian yang terbaik pasti kita nemu celah untuk 'berbaikan' dengan mertua. Aku yakin kok, mereka juga pasti menganggap kita anak sendiri. Sama kayak kita, mau ngga mau, suka ngga suka, cocok ngga cocok.
Oke oke... susah memang. Toh aku ngga berbicara ini gampang. Wong aku sendiri aja cucah anet mau ngakuin kalo mertua itu kayak orang tua sendiri. Perlu berhari-hari untuk bisa menelaah, memahami, dan akhirnya merangkul aturan layaknya rumah sendiri.
Terlebih karena orang tua saya bercerai, aku jadi merasa mempunyai 'rumah' lain untuk pulang. Walopun posisi mama papa kandung tak akan tergantikan, tetapi mertua adalah rumah kedua untuk pulang. Karena semua punya porsinya masing-masing.
Udahlah, bagaimanapun sikap yang kita tunjukkan, perasaan apapun yang akan diungkapkan, namanya mertua, suatu saat kita toh bakal bertemu lagi entah kapan.
Apa ngga boros bin Mubazir?
Kira-kira begitu.
Lama-lama aku cuek juga, dibikin gampang aja deh. Kalo lagi di rumah orang tua ya ikutin aturan orang tua, kalo di rumah mertua ya kudu patuh sama aturannya. Kalo di rumah sendiri? Suka-suka kami. Kami udah punya aturan rumah tangga kami, huh! *tangan sedekap
Masak mau kita pendam sampai beribu tahun lamanya? Buat apa? Kita kan juga ngga mau kalo nantinya digituin sama menantu?
*Mama Papa mertua, saya kangen ke Pangkalan Bun...
2 komentar
eh judulnya hehehe...
ReplyDeletesaya sih dari pas pacaran untungnya memang udah diterima oleh mertua. mertua saya juga tipikal orang yang terima aja kalo saya ngomong nyablak, dan jujur sama perasaan saya misalnya saya gak setuju nasehat dia.
tapi kan ya cyinnn gimana ya pas nikah tuh semua makin terkuak bahahaha. saya lagi tahap lelah dengan urusan orang tua dan mertua ini. rumah saya dan suami memang pisah dengan rumah ortu dan mertua saya tapi deketan jadi palingan seminggu sekali ketemu.
jadi lelah akoh dengan aturan2 yang gak bisa dipahami oleh otak abad milenium ini :D
wah enak kalo udah semacam ambil hati gitu. saya juga awalnya deket, tapi abis ngerasain tinggal bareng mertua abis lahiran itu rasanya kayak ikut kegiatan pramuka, mbak. senior selalu benar pokoknya ;p
Delete