Legowo? Siapa tuh? Apaan tuh?
Lalu setelah anak tidur, adalah saat yang tepat dan kamipun pillow talk. Tepatnya mereview, ngobrol ngalur ngidul tentang emosi muda, tentang dunia luar yang makin gila, tentang masa depan Alya. Kami sadar bukan hal mudah lagi untuk memanjakan emosi. Kami punya anak, dialah pemersatu dan harapan kami. Generasi yang akan kita bangun agar tangguh namun bertanggungjawab. Merekalah doa doa kami agar dunia damai walo kalian ngetawain bahwa itu cuma imaji.
Aku bilang sama Suamiku, kalo aku pernah baca status fesbuk temen sekantor dulu yang sedang dinyinyirin orang yang bahkan baru dia kenal. Seseorang yang ngga tahu siapa kita tapi seakan mengetahui semuanya. Lagi-lagi orang yang ngga kita kenal sama sekali sebelumnya.
Dia Vistya, teman kantor lama kami yang beda ras, agama dan suku, tapi kami satu pikiran. Catat!
Ada hal yang tidak dia blow up tentang anaknya.
Ada hal yang harus dia perjuangkan demi buah hatinya.
Ada peraturan yang dia buat dari segala haknya menjadi orangtua yang tak lupa dengan kewajibannya.
Oke, i know, different case but have the same conclusion. Ngga kenal siapa orangnya, tiba-tiba punya masalah, dan kita sendiri yang harus menerima. Yes, disitulah letak Legowo. Apakah kita harus menerima kenyataan pahit tentang sikap orang yang berbeda pendapat?
Apakah kita akan selalu kontra dan selalu merasa tidak nyaman dengan perbedaan?
Iya, jawabannya kita berbeda. Legowo adalah sikap multifungsi nan sakti dalam banyak hal,
pertama dari diri kita supaya kita bisa siap menerima,
kedua, dari pihak pencetus amarah supaya kita menjadi legowo, biar bisa seenaknya melempar tanggungjawabnya.
Dan aku pikir orang waras bakalan kalem memilih yang pertama. Banci kaleng pilih nomor dua! Sayangnya, banyak juga yang pilih. Haha seraah.
Di status Vistya tadi, menuai bermacam-macam komentar. Tak jarang yang ikutan marah, tapi aku lihat komentar penyejuk paling jitu dari salah satu temen kantor lamaku juga. Mas Wahyu namanya, dia pernah satu divisi sama aku dalam membuat program televisi berupa game show. Orangnya asik, kebanyakan becanda daripada seriusnya. Apapun yang dikatakannya mengandung lelucon yang sering crispy. Jadi hampir mustahil dia memberikan kata bijak, namun...
Gotcha!
Kalimatnya bener-bener biasa, tapi ngena! Kita lupa, Tuhan punya sejuta rencana.
Aku yang abis punya kasus dan kudu berdamai dengan kata legowo, jadi adem dengernya. Aku ngga nyangka, seorang yang biasa ngelucu tapi ngga banget ternyata punya pemikiran yang memotivasi diri.
Bukan menyalahkan, seperti halnya orang-orang kebanyakan, tapi menetralkan. Memberikan ruang pada kita untuk selalu menerima dan mengambil hikmah positif demi kebaikan bersama. Apa yang kita harapkan baik kepada seseorang belum tentu disambut manis. Mengharap belas kasih dan memaksa permintaan maaf adalah hal yang bias, dan cuma melahirkan dendam.
Tidak ada yang sempurna, semua benar-benar berbeda. Ayolah, hidup ini penuh warna kok. Sikap baik itu dimulai dari diri kita.
Kasus ini menjadi perbincangan yang sangat jauh buat aku dan suami. Membuat kami semakin kuat dalam menghadapi hari. Menanamkan sifat rendah hati pada si buah hati. Memberikan hal yang terbaik walopun diterpa cobaan.
Demi siapa? Demi masa depan kita bersama.
Jadi, sudahkah kamu legowo hari ini?
Semoga.
Ah, ngga usah pura-pura ngga tahu guys. Kata ini makin hits gara-gara politik kemaren.
Seminggu yang lalu, kami sekeluarga abis makan malem di sebuah resto lumayan terkenal di magelang. Rasanya seneng karena biasanya kami masak atau makan itu itu aja. Sepanjang perjalanan pulang, Alya nyanyi nyanyi dan nyuruh kami ngikutin sambil tepuk tangan. Pokoknya suasananya lalala yeyeye.
Kami melewati jalan desa yang tidak ramai dan lampu jalan yang ngga terlalu terang. Jalan yang masih banyak sawah tapi sering buat jalan pintas orang-orang. Dan ya, di situ sering banyak mobil dan motor yang brutal saking lempeng dan lumayan sepinya jalan.
Di sebuah pertigaan, tiba-tiba dari belakang, sebuah mobil merek ternama menyalip dan menyerempet badan mobil kami sebelah kanan. Ekspresi kami yang tadinya bahagia berubah cepat menjadi bete dan masam, kecuali Alya. Dia cuma bisa melongo sambil nyanyi lirih.
Suami yang nahan emosi langsung klakson mobil seakan nyuruh berhenti. Sekitar 100 meteran setelah adegan serempetan terjadi, mobil itu menghentikan lajunya. Lalu turunlah pria yang ngga kami kenal sama sekali. Berumur sekitar 40 tahunan, berkacamata, dan petentang petenteng dengan gayanya sambil melihat body mobilnya.
Hellaaaw body mobilnya dia sendiri lho, bukan mobil kami!
Kayak dia bener aja!
Kayak dia bener aja!
Suami turun dan ikut mengecek mobilnya. Dia pasang badan, aku udah deg-degan plus siap-siap kalo ada adegan tinju dalam hitungan menit. Sambil masih memangku Alya, kaca jendela aku buka dan mendengarkan percakapan sengit mereka. Suami meminjam handphone dan menyalakan senter untuk ngecek apakah ada goresan di body mobil kami ataupun blio. Sempat kepikiran mau merekam adegan ini tapi buat apa juga sih. Aku ngga ingin jadi makin drama, apa dikit direcord biar menuai pro kontra.
Aku ngga nyangka, ternyata Suami sama sekali ngga merubah intonasi suaranya menjadi tinggi. Dia bisa ngomong baik-baik walopun si bapak terkesan ngga mau terima. Aku langsung buka pintu dan berdiri sambil tetap menjaga Alya. Si bapak ngueyel kalo dia sudah menyalakan lampu dimmer sebagai tanda blio mau menyalip. Mentang-mentang blio sudah berumur dan kami masih dianggap muda.
Aku yang ikutan naik pitam langsung nimpalin:
"Pak... kenapa ngga klakson?"
"Ya kan sudah saya dimmer!"
"Ini tikungan banyak terjadi kecelakaan lho pak, kenapa masih menyalip"
"Ya saya tahu... tapi kan saya bisa ngukur jalan".
Ngukur jalan palelu! Aku tahu banget ini tempat, bahkan sering ada truk angkut pasir yang lewat. Punya mobil gorjes kenapa otak masih tumpul sih nih!
FYI aja, ini ada artikel di kaskus tentang etika menggunakan lampu dim. Haha nyolot.
Iyalah, di otakku saat itu cuma mikir misal Suami jotos tuh orang, aku bakalan keprok keprok hore aja deh sambil nyanyi twinkle-twinkle sama Alya. Tapi takdir berkata lain sodara-sodara, ketika ada suara kecil nan merdu bertanya:
"Kenapa Ma?"
Ya Tuhan, si anak kecil ini melihat semua percakapan kami. Seketika aku melihat Alya langsung meleleh dan amarahku terhenti bagai panas kerontang disiram air hujan. Muka galakku berubah jadi senyuman manis dan menjawab pertanyaan Alya:
"Ngga papa, Nak! Ayo kita nyanyi lagi"
Aku masih dengar Si Bapak masih ngga terima dan Suami udah pengen nonjok aja. Aku kode Suami supaya cepat selesaikan, karena aku ngga mau si anak yang cepat merekam kejadian ini melihat orang tuanya terlibat kekerasan. Toh, walopun si bapak ngotot, sebenarnya ia telah mengakui kesalahan.
Bahwa mulutnya benar-benar bergetar dan tidak berani menatap mata Suami.
Bahwa dia bilang bisa compound body mobil kami apabila lecet padahal kami tidak minta ganti rugi.
Bahwa dia bilang buru-buru karena ada tetangganya yang meninggal.
Bahwa tanpa kita mengenali orangnya, kita sudah tahu sifat aslinya.
Bahwa tanpa kita mengenali orangnya, kita sudah tahu sifat aslinya.
Bahwa masalah dipaksa clear dan suami tetep ngomel.
Terakhir si bapak bilang kalo masalah udah selesai dan jangan ngomong lagi, tapi sebenernya dia ngga sadar telah memulai segala caci maki kami untuknya di dalam hati. Kami berjalan pulang dengan hati yang remuk redam seakan menerima kekalahan.
Case closed? No!
Case closed? No!
"Aku cuma pengen dia minta maaf"
Suamiku masih mengincarnya walopun si bapak ngga bakalan bisa minta maaf. Dalam hati aku yakin, si bapak kebingungan, tapi mulutnya terkunci mengandalkan gengsi persis sama pejabat katro di negeri ini. Brengsek pokoknya!
Aku cuma bisa menghibur diri dan suami. Aku masih nyanyi nyanyi sama Alya dan berharap cepatlah esok hari. Aku sempat menghibur suami dengan kata-kata bijakku seperti sudah ngga papa, sabar, atau legowo, tapi kata-kata itu ngga mempan membius emosi Suami. Hingga suami bilang "cukup" baru aku diam dan nunggu waktu yang tepat.
Sampai rumah, aku mengganti baju Alya, mencuci kakinya, menggosok gigi dan mengajaknya tidur. Aku melihat suami menutup pintu kamar belakang. Aku tahu dia lagi sholat, memohon pada Tuhan agar teriakannya berubah menjadi doa doa suci yang lebih bermanfaat. Aku yakin jiwa maskulinnya ingin menghentak keras melampiaskan kekesalannya.
Lalu setelah anak tidur, adalah saat yang tepat dan kamipun pillow talk. Tepatnya mereview, ngobrol ngalur ngidul tentang emosi muda, tentang dunia luar yang makin gila, tentang masa depan Alya. Kami sadar bukan hal mudah lagi untuk memanjakan emosi. Kami punya anak, dialah pemersatu dan harapan kami. Generasi yang akan kita bangun agar tangguh namun bertanggungjawab. Merekalah doa doa kami agar dunia damai walo kalian ngetawain bahwa itu cuma imaji.
Aku bilang sama Suamiku, kalo aku pernah baca status fesbuk temen sekantor dulu yang sedang dinyinyirin orang yang bahkan baru dia kenal. Seseorang yang ngga tahu siapa kita tapi seakan mengetahui semuanya. Lagi-lagi orang yang ngga kita kenal sama sekali sebelumnya.
Dia Vistya, teman kantor lama kami yang beda ras, agama dan suku, tapi kami satu pikiran. Catat!
Ada hal yang tidak dia blow up tentang anaknya.
Ada hal yang harus dia perjuangkan demi buah hatinya.
Ada peraturan yang dia buat dari segala haknya menjadi orangtua yang tak lupa dengan kewajibannya.
Oke, i know, different case but have the same conclusion. Ngga kenal siapa orangnya, tiba-tiba punya masalah, dan kita sendiri yang harus menerima. Yes, disitulah letak Legowo. Apakah kita harus menerima kenyataan pahit tentang sikap orang yang berbeda pendapat?
Apakah kita akan selalu kontra dan selalu merasa tidak nyaman dengan perbedaan?
Iya, jawabannya kita berbeda. Legowo adalah sikap multifungsi nan sakti dalam banyak hal,
pertama dari diri kita supaya kita bisa siap menerima,
kedua, dari pihak pencetus amarah supaya kita menjadi legowo, biar bisa seenaknya melempar tanggungjawabnya.
Dan aku pikir orang waras bakalan kalem memilih yang pertama. Banci kaleng pilih nomor dua! Sayangnya, banyak juga yang pilih. Haha seraah.
Di status Vistya tadi, menuai bermacam-macam komentar. Tak jarang yang ikutan marah, tapi aku lihat komentar penyejuk paling jitu dari salah satu temen kantor lamaku juga. Mas Wahyu namanya, dia pernah satu divisi sama aku dalam membuat program televisi berupa game show. Orangnya asik, kebanyakan becanda daripada seriusnya. Apapun yang dikatakannya mengandung lelucon yang sering crispy. Jadi hampir mustahil dia memberikan kata bijak, namun...
Gotcha!
Kalimatnya bener-bener biasa, tapi ngena! Kita lupa, Tuhan punya sejuta rencana.
Aku yang abis punya kasus dan kudu berdamai dengan kata legowo, jadi adem dengernya. Aku ngga nyangka, seorang yang biasa ngelucu tapi ngga banget ternyata punya pemikiran yang memotivasi diri.
Bukan menyalahkan, seperti halnya orang-orang kebanyakan, tapi menetralkan. Memberikan ruang pada kita untuk selalu menerima dan mengambil hikmah positif demi kebaikan bersama. Apa yang kita harapkan baik kepada seseorang belum tentu disambut manis. Mengharap belas kasih dan memaksa permintaan maaf adalah hal yang bias, dan cuma melahirkan dendam.
Tidak ada yang sempurna, semua benar-benar berbeda. Ayolah, hidup ini penuh warna kok. Sikap baik itu dimulai dari diri kita.
Kasus ini menjadi perbincangan yang sangat jauh buat aku dan suami. Membuat kami semakin kuat dalam menghadapi hari. Menanamkan sifat rendah hati pada si buah hati. Memberikan hal yang terbaik walopun diterpa cobaan.
Demi siapa? Demi masa depan kita bersama.
Jadi, sudahkah kamu legowo hari ini?
Semoga.