RINDU ORDER
Banyak yang minta aku lanjutin nulis tentang freelancer. Mungkin karena aku dikelilingi orang yang sama-sama menyandang gelar freelancer, orang-orang yang heran kok masih ada sih yang masih mau jadi freelancer, atau orang-orang yang pengen menjadi freelancer itu sendiri.
Untuk kalian yang sama-sama hidup sebagai pekerja serabutan, kita sama-sama ya, enggak usah sok yes, enggak usah merasa paling kece. Karena aku dan kamu sama, takut dengan sebuah masa bernama: RINDU ORDER. LOL.
Aku bahas freelancer dengan sudut pandang pekerja seni ya, yang ada di seputar kehidupanku. Kalau yang biasa aku jangkau itu banyakan berhubungan sama desain dan audio visual. So yeah, sebelum kita bahas lebih lanjut, ngomong-ngomong, kalian pernah dengar pertanyaan ini enggak?
"Widiiih cuy, kerjaanmu banyak ya, bagi bagi donk"
"Cieee yang lagi rame, jangan lupa temen yeee"
Mmmmm... Sounds familiar okay?
Tentunya, iya. Terlebih bagi kalian yang udah terlihat banyak order, kalian yang berani menyandang dana, atau kalian yang udah punya usaha. Pokoknya semua lagi membahas kalian. Orang yang tadinya enggak kenalpun, mendadak akrab dan ngajak kenalan. Yes, sebutlah kalian sedang di atas angin, kerjaan datang sendiri tanpa dicari.
Engga perlu munafik, ada banyak banget orang bertipe ijig-ijig dateng ketika kita udah 'terlihat' sukses. Tipe orang yang engga tahu proses berjuang. Tipe orang yang langsung minta enaknya doank.
Mintanya apa sih nih orang? Serius minta kerjaan?
Ya masih mending minta kerjaan sih daripada minta duit kan. Hehehe. Yang namanya bekerja itu seperti hidup kok. Kadang di bawah, kadang di atas. Enggak mau di bawah doank, ya kudu usaha keras. Pengen hidup stabil? Ya kudu berjuang sekuat tenaga. Makanya, status freelancer itu sering dicibirin, apa enggak mending jadi pegawai kantoran saja? Kan enak dapet gaji tetap, dapet asuransi, dapet makan siang, dapet jatah lembur dan lain lain, alias hidup lebih terjamin.
FYI, freelancer itu BIASANYA datang atas nama mengejar passion. Ada kan orang yang kerja tapi dalam hatinya enggak sreg sama aturan kantor? Ada kan orang yang sukanya nggambar tapi dipaksa jadi marketing? Ada kan orang yang kerja kantoran biar nyenengin orang tuanya aja?
Iya, freelancer itu bisa diartiin sebagai kebebasan. Mau pilih kerjaan yang sesuai dari segi apa? Misal dari segi skill, harga, sampai waktu. Semua ada di tangan kita. Nah, memutukan untuk resign dan menjadi freelancer itu butuh keberanian. Kira-kira nanti kalau sudah jadi freelancer, aku mau ngapain aja ya? Gimana cara manage kerjaan supaya datang terus? Gimana kalau tiba-tiba sepi job? Trus enggak ada callingan sama sekali?
ITU YANG HARUS DIPIKIRKAN.
via GIPHY
Bukan cuma pegawai kantoran, freelancer pun sebenarnya juga punya stratanya. Ada yang masih tahap awal baru mulai mencoba, ada yang berprinsip manut penak, ada yang udah lama dan senior, trus yang udah ngumpulin niat plus modal sampai bikin usaha. Ada kesenjangan antara si suhu dan anak kemarin sore. Inilah yang bikin dunia kerja itu sama. Ikut sama yang ada uangnya. LOL.
Sebenarnya, lumrah sih bagi freelancer untuk saling minta dan saling menawari kerjaan. Apalagi kalau udah temenan, udah cocokan. Makanya lingkup temen itu adalah hal yang paling krusial. Ketimbang skill, asas pertemanan kadang lebih didahulukan. Tapi iya kalau gawean kita dianggap sempurna, kalau diblack list? Selamat, kalian bisa pindah ke luar kota.
Kerjaan bagi orang-orang freelancer adalah status paling dinantikan. Menjadi pekerja yang bisa menentukan waktunya sendiri itu bukan hal yang mudah. Minggu ini boleh kita riweuh orderan, job sampe luber, sampai nolak yang baru datang. Pengennya gitu terus yakan?
Tapi sesudah itu ada masa di mana job sepi berbulan-bulan lamanya. Mampas, ATM nol saldo, anak mau dikasih makan apa? Mana kita udah paling idealis, perfeksionis, dan pilih pilih. Ya monggo kalau bisa bertahan, kalau tidak? Bisa-bisa nelen ludah sendiri nanti. Prinsip hidup kita jadi lembek dan sensitif. Tadinya hanya mau bikin iklan, giliran sepi mau terima job wedding.
Bentar, jangan marah dulu. Kamu tidak sendiri temans.
Mematok harga boleh banget, menolak tawaran dengan alasan sreg memang sama pentingnya. Tapi di sisi lain, kita harus sadar apa yang menjadi kebutuhan kita. Jangan karena malu dan gengsi kita jadi ikut-ikutan sok paling benar.
Nanti kalau datang masanya rindu order baru tahu rasa.
Beberapa kali aku dengar selentingan omongan dari teman dan kru yang kerja bareng. Sikap orang yang rindu order itu macem-macem. Ada yang pura-pura jual mahal, ada juga yang melas minta peran.
Pernah nih. Aku ikut bikin FTV dengan actress kelas B dan C. Ada satu pemain lawas yang ikut main sebagai.... pemeran pembantu 1, yakni sebagai ibu dari si tokoh utama. Enggak full scene pastinya, cuma 10 persen dari script. Tahu gimana actingnya? Kami sepakat beliau ini biasa saja. Nothing special. Otomatis takenya berulang-ulang, dandannya touch up terus, dan waktunya jadi molor. Eeeeeh yang disalahin kru. Yongalaaah. Gayanya udah paling senior dan berpengalaman. Hoaaam....
Padahal pemain lain yang dia bilang sebagai anak baru, justru malah lebih sering tampil di layar kaca lho. Actingnya juga enggak lebay dan pas. Tak pelak, si ibu balik diomongin. Tiap sudut lokasi ngomongin tentang beliau dan jadi bahan becandaan. Mana hari terakhir beliau ini bawa make up pribadi pula!
Dan tahu apa? Mereka bilang, si pemain lawas tersebut lagi sindrom rindu order. Masa muda boleh menuai ketenaran, tapi kalau kita tidak bisa bersikap dan skill mentok disitu-situ aja, bisa jadi bumerang kita di masa tua.
Contoh satu kasus lain.
Ada temen juga yang biasa garap weddingan. Dia berpikir bahwa gambarnya udah paling oke dan berani mematok harga tinggi. Sebut aja equipment yang baru misal Dji Osmo, Drone, atau action cam, dia bisa! Kalian pikir video wedding sekarang gitu-gitu aja? Huh, enggak kalah deh sama My Trip My Adventure hahaha. Artinya, kalau mau booking temenku ini, ya kudu berani sama harga dengan fasilitas yang dia tawarkan. Kalau dengan asas pertemanan yang pake harga nawar. Your face lah pokoknya. Minggat sana cuy, wani-wanine.
Nah, aku pun pernah nawarin temenku ini ikutan garap sebuah program TV. Dalam hati cuma bilang, yah... siapa tahu mau.
Temenku ini yakin sih kalau kerjaannya better than temen-temenku yang lain. Dan lagi-lagi mematok harga lumayan tinggi. Tapi karena budget terbatas, dengan sangat terpaksa aku batalin. Daripada enggak enak nantinya, lagian ngomongin duit kan sensitif.
Beberapa minggu setelahnya...
Si temen balik nelpon aku dan minta kerjaan yang kapan hari ditawarkan. Alasannya, karena dia lagi sepi kerjaan. Wah beta pikir, situ sudah lupa.
via GIPHY
Iya, kasus seperti di atas adalah biasa. Punya prinsip boleh, tapi ya kudu berani struggle. Roda itu berputar. Jangan sekarang songong, tapi menyulitkan kerjaan kita sendiri. Banyak yang harus dipikirkan. Ada kalanya kita diajak, ada kalanya kita yang mengajak. Simbiosis mutualisme lah. Kalau masih status freelancer dan nunggu job datang, itu artinya sama dengan kita ikut orang. Masak iya mau di situ-situ terus sih, masak seumur hidup jadi freelancer aja sih. Ya kan sama kayak orang-orang kantoran?
Coba kita simak cerita adem berikut ini.
Sebut saja si D seorang pekerja film yang awalnya cuma bikin film pendek. Ia terus mengembangkan sayapnya dengan banyak teman dan mencuri pengetahuan. Keren. Sampai dia dipercaya banyak orang lalu akhirnya naik jabatan. Lho iya, di dunia freelance pun kalau misal kita gesit dan punya banyak skill, kita bakalan dipercaya untuk mencoba hal yang lebih menantang lagi. Sekarang dia udah di ibu kota, bahkan melancong ke beberapa negeri untuk terus mengasah skill dan memperluas wawasannya. Dia bikin kursus kecil-kecilan untuk melahirkan bakat-bakat baru serta bikin usaha bersama istrinya. Ya demi masa tuanya. Investasi jangka panjang. Satu hal yang perlu diingat, ia terus bergerak, mau belajar dan tahan gengsi.
Mmmm proses yang enggak ada habisnya ya. Memang.
Ya masih mending minta kerjaan sih daripada minta duit kan. Hehehe. Yang namanya bekerja itu seperti hidup kok. Kadang di bawah, kadang di atas. Enggak mau di bawah doank, ya kudu usaha keras. Pengen hidup stabil? Ya kudu berjuang sekuat tenaga. Makanya, status freelancer itu sering dicibirin, apa enggak mending jadi pegawai kantoran saja? Kan enak dapet gaji tetap, dapet asuransi, dapet makan siang, dapet jatah lembur dan lain lain, alias hidup lebih terjamin.
FYI, freelancer itu BIASANYA datang atas nama mengejar passion. Ada kan orang yang kerja tapi dalam hatinya enggak sreg sama aturan kantor? Ada kan orang yang sukanya nggambar tapi dipaksa jadi marketing? Ada kan orang yang kerja kantoran biar nyenengin orang tuanya aja?
Iya, freelancer itu bisa diartiin sebagai kebebasan. Mau pilih kerjaan yang sesuai dari segi apa? Misal dari segi skill, harga, sampai waktu. Semua ada di tangan kita. Nah, memutukan untuk resign dan menjadi freelancer itu butuh keberanian. Kira-kira nanti kalau sudah jadi freelancer, aku mau ngapain aja ya? Gimana cara manage kerjaan supaya datang terus? Gimana kalau tiba-tiba sepi job? Trus enggak ada callingan sama sekali?
ITU YANG HARUS DIPIKIRKAN.
Bukan cuma pegawai kantoran, freelancer pun sebenarnya juga punya stratanya. Ada yang masih tahap awal baru mulai mencoba, ada yang berprinsip manut penak, ada yang udah lama dan senior, trus yang udah ngumpulin niat plus modal sampai bikin usaha. Ada kesenjangan antara si suhu dan anak kemarin sore. Inilah yang bikin dunia kerja itu sama. Ikut sama yang ada uangnya. LOL.
Sebenarnya, lumrah sih bagi freelancer untuk saling minta dan saling menawari kerjaan. Apalagi kalau udah temenan, udah cocokan. Makanya lingkup temen itu adalah hal yang paling krusial. Ketimbang skill, asas pertemanan kadang lebih didahulukan. Tapi iya kalau gawean kita dianggap sempurna, kalau diblack list? Selamat, kalian bisa pindah ke luar kota.
Kerjaan bagi orang-orang freelancer adalah status paling dinantikan. Menjadi pekerja yang bisa menentukan waktunya sendiri itu bukan hal yang mudah. Minggu ini boleh kita riweuh orderan, job sampe luber, sampai nolak yang baru datang. Pengennya gitu terus yakan?
Tapi sesudah itu ada masa di mana job sepi berbulan-bulan lamanya. Mampas, ATM nol saldo, anak mau dikasih makan apa? Mana kita udah paling idealis, perfeksionis, dan pilih pilih. Ya monggo kalau bisa bertahan, kalau tidak? Bisa-bisa nelen ludah sendiri nanti. Prinsip hidup kita jadi lembek dan sensitif. Tadinya hanya mau bikin iklan, giliran sepi mau terima job wedding.
Bentar, jangan marah dulu. Kamu tidak sendiri temans.
Mematok harga boleh banget, menolak tawaran dengan alasan sreg memang sama pentingnya. Tapi di sisi lain, kita harus sadar apa yang menjadi kebutuhan kita. Jangan karena malu dan gengsi kita jadi ikut-ikutan sok paling benar.
Nanti kalau datang masanya rindu order baru tahu rasa.
Beberapa kali aku dengar selentingan omongan dari teman dan kru yang kerja bareng. Sikap orang yang rindu order itu macem-macem. Ada yang pura-pura jual mahal, ada juga yang melas minta peran.
Pernah nih. Aku ikut bikin FTV dengan actress kelas B dan C. Ada satu pemain lawas yang ikut main sebagai.... pemeran pembantu 1, yakni sebagai ibu dari si tokoh utama. Enggak full scene pastinya, cuma 10 persen dari script. Tahu gimana actingnya? Kami sepakat beliau ini biasa saja. Nothing special. Otomatis takenya berulang-ulang, dandannya touch up terus, dan waktunya jadi molor. Eeeeeh yang disalahin kru. Yongalaaah. Gayanya udah paling senior dan berpengalaman. Hoaaam....
Padahal pemain lain yang dia bilang sebagai anak baru, justru malah lebih sering tampil di layar kaca lho. Actingnya juga enggak lebay dan pas. Tak pelak, si ibu balik diomongin. Tiap sudut lokasi ngomongin tentang beliau dan jadi bahan becandaan. Mana hari terakhir beliau ini bawa make up pribadi pula!
Dan tahu apa? Mereka bilang, si pemain lawas tersebut lagi sindrom rindu order. Masa muda boleh menuai ketenaran, tapi kalau kita tidak bisa bersikap dan skill mentok disitu-situ aja, bisa jadi bumerang kita di masa tua.
Contoh satu kasus lain.
Ada temen juga yang biasa garap weddingan. Dia berpikir bahwa gambarnya udah paling oke dan berani mematok harga tinggi. Sebut aja equipment yang baru misal Dji Osmo, Drone, atau action cam, dia bisa! Kalian pikir video wedding sekarang gitu-gitu aja? Huh, enggak kalah deh sama My Trip My Adventure hahaha. Artinya, kalau mau booking temenku ini, ya kudu berani sama harga dengan fasilitas yang dia tawarkan. Kalau dengan asas pertemanan yang pake harga nawar. Your face lah pokoknya. Minggat sana cuy, wani-wanine.
Nah, aku pun pernah nawarin temenku ini ikutan garap sebuah program TV. Dalam hati cuma bilang, yah... siapa tahu mau.
Temenku ini yakin sih kalau kerjaannya better than temen-temenku yang lain. Dan lagi-lagi mematok harga lumayan tinggi. Tapi karena budget terbatas, dengan sangat terpaksa aku batalin. Daripada enggak enak nantinya, lagian ngomongin duit kan sensitif.
Beberapa minggu setelahnya...
Si temen balik nelpon aku dan minta kerjaan yang kapan hari ditawarkan. Alasannya, karena dia lagi sepi kerjaan. Wah beta pikir, situ sudah lupa.
Iya, kasus seperti di atas adalah biasa. Punya prinsip boleh, tapi ya kudu berani struggle. Roda itu berputar. Jangan sekarang songong, tapi menyulitkan kerjaan kita sendiri. Banyak yang harus dipikirkan. Ada kalanya kita diajak, ada kalanya kita yang mengajak. Simbiosis mutualisme lah. Kalau masih status freelancer dan nunggu job datang, itu artinya sama dengan kita ikut orang. Masak iya mau di situ-situ terus sih, masak seumur hidup jadi freelancer aja sih. Ya kan sama kayak orang-orang kantoran?
Coba kita simak cerita adem berikut ini.
Sebut saja si D seorang pekerja film yang awalnya cuma bikin film pendek. Ia terus mengembangkan sayapnya dengan banyak teman dan mencuri pengetahuan. Keren. Sampai dia dipercaya banyak orang lalu akhirnya naik jabatan. Lho iya, di dunia freelance pun kalau misal kita gesit dan punya banyak skill, kita bakalan dipercaya untuk mencoba hal yang lebih menantang lagi. Sekarang dia udah di ibu kota, bahkan melancong ke beberapa negeri untuk terus mengasah skill dan memperluas wawasannya. Dia bikin kursus kecil-kecilan untuk melahirkan bakat-bakat baru serta bikin usaha bersama istrinya. Ya demi masa tuanya. Investasi jangka panjang. Satu hal yang perlu diingat, ia terus bergerak, mau belajar dan tahan gengsi.
Mmmm proses yang enggak ada habisnya ya. Memang.
Jauh sebelum aku dikatakan banyak kerjaan seperti sekarang ini, aku pun pernah juga mengalami krisis kok. Tepatnya krisis percaya diri. Ini karena aku emang lagi masa suram sih. Hahaha. Tahu lah, pas abis melahirkan aku lumayan terpuruk.
Baca juga: Gejala Depresi Post Partum
Bukan yosa namanya kalau sedih melulu.
Abis itu aku berdiri lagi. Mulai dari nol lagi. Ya beruntungnya, aku enggak pernah punya kasus dan namaku bersih. Engga pernah ada masalah, Alhamdulillah. Pun dari dulu, aku juga mau belajar dan mau jadi apa aja. Engga terpatok satu dua jobdesk semata.
Aku mulai ngirim tulisan dan artikel ke beberapa media, bikin portofolio di blog yang akhirnya malah ketagihan nulis, trus enggak disangka job dateng baik dari blog maupun temen karena pada lihat tulisanku. Aku mulai banyak temen baru. Aku mulai mengubah sikap menjadi lebih humble dan rendah hati. Nyahaha, iya kok, sikap keras kepalanya udah aku kurangi.
Sedangkan kalau di dunia perfilman, aku bisa kalian tarik kemana aja. Clapper, Wardrobe, Make Up, Unit Manager, Pimpinan Produksi, Scriptwriter, dan Line Producer. Tapi aku emang sengaja engga mau berurusan dengan teknis. Nanti ndak anaknya makin jumawa.
Kalau kemampuan dan waktuku pas, aku jarang nolak. Sampai detik ini aku masih mau bikin proposal film, ngurusi creative sampai paska produksi, dan mau berjuang bareng biar tetep terlatih. I know may be its late, tapi aku enjoy kok. Di sisi lain aku juga mengembangkan usahaku dalam berjualan.
Suami? Dia juga lagi getol jualan gambar via online. Zaman sekarang mah, dunia bisa disentuh dengan mudah. Ada banyak cara untuk menjual karya ya kan ya?
Baca juga: Gejala Depresi Post Partum
Bukan yosa namanya kalau sedih melulu.
Abis itu aku berdiri lagi. Mulai dari nol lagi. Ya beruntungnya, aku enggak pernah punya kasus dan namaku bersih. Engga pernah ada masalah, Alhamdulillah. Pun dari dulu, aku juga mau belajar dan mau jadi apa aja. Engga terpatok satu dua jobdesk semata.
Aku mulai ngirim tulisan dan artikel ke beberapa media, bikin portofolio di blog yang akhirnya malah ketagihan nulis, trus enggak disangka job dateng baik dari blog maupun temen karena pada lihat tulisanku. Aku mulai banyak temen baru. Aku mulai mengubah sikap menjadi lebih humble dan rendah hati. Nyahaha, iya kok, sikap keras kepalanya udah aku kurangi.
Sedangkan kalau di dunia perfilman, aku bisa kalian tarik kemana aja. Clapper, Wardrobe, Make Up, Unit Manager, Pimpinan Produksi, Scriptwriter, dan Line Producer. Tapi aku emang sengaja engga mau berurusan dengan teknis. Nanti ndak anaknya makin jumawa.
Kalau kemampuan dan waktuku pas, aku jarang nolak. Sampai detik ini aku masih mau bikin proposal film, ngurusi creative sampai paska produksi, dan mau berjuang bareng biar tetep terlatih. I know may be its late, tapi aku enjoy kok. Di sisi lain aku juga mengembangkan usahaku dalam berjualan.
Suami? Dia juga lagi getol jualan gambar via online. Zaman sekarang mah, dunia bisa disentuh dengan mudah. Ada banyak cara untuk menjual karya ya kan ya?
As we know, freelancer itu sering diidentikkan dengan ketidakpastian. Segala kekuatan ada di tangan kita sendiri. Kalau udah memutuskan jadi freelancer ya nikmati aja. Karena sejatinya, rindu order adalah tentang bagaimana cara kita menyebar benih dan memelihara hubungan. Hasilnya mungkin enggak bisa dinikmati sekarang, melainkan kamu tuai jangka panjang.
Jangan terlalu berambisi satu hal semata. Mungkin perlu bantuan aliran dana dari lain saluran. Jaga gengsi. Gengsi tidak memberimu kekenyangan. Ia hanya tampak di luar dan bikin sakit di dalam.
Jangan terlalu berambisi satu hal semata. Mungkin perlu bantuan aliran dana dari lain saluran. Jaga gengsi. Gengsi tidak memberimu kekenyangan. Ia hanya tampak di luar dan bikin sakit di dalam.
Segitu dulu deh, niat awalnya mau sharing dikit tapi kok malah jadi panjang gini. Hehehe. Semoga bisa jadi sudut pandang lain buat kalian ya. Thank u.
4 komentar
so inspiring, mba. Selama ini juga penasaran gimana cara freelancer bertahan. Ternyata nggak cuma skill tapi koneksi dan asas tarik ulur itu penting banget ya :D
ReplyDeletemakasih ya mbak. seneng bisa menginspirasi. betul, kita kudu pinter jaga hubungan dan komunikasi :)
DeleteBener, freelancer itu penuh ketidakpastian, nggak boleh menyepelekan apapun. Kalau nggak punya keahlian yg bisa dibanggakan, minimal harus punya hubungan baik dg semua orang.
ReplyDeletesetuju mbak. kita kudu punya banyak koneksi, yaaa banyak temen banyak rejeki ya mbak :)
Delete