MAU TINGGAL DIMANA?
Setiap aku pindah, aku merasakan hawa baru, namun suara gemuruh dan sesak di dadaku.
Kota Lama, 2010 |
Sejak lahir sampai SMA tinggal di sini. Rumah papa mama dulu, ada di tengah kota. Nama kampungnya cukup terkenal akibat warganya yang heterogen. Mulai dari pengamen, residivis, intel, pelayaran. Di situ semua ada. Asiknya, keluarga kami tenang-tenang saja tuh. Hangat dan tidak terkontaminasi. Mungkin karena kami keseringan dikurung di dalam rumah. Yayaya, aku tahu kekhawatiran orang tua. Nah, hal yang bikin aku malas untuk kembali adalah, menemukan bahwa keluarga ini tidak utuh lagi. Eh bentar, aku kan kembali justru untuk memperbaiki semua walaupun sudah tidak sempurna. Gimana sih ah.
Ketika aku menginjakkan kaki untuk pindah ke sini, duh rasanya kayak aneh gitu ya. Antara tidak rela dan masih banyak urusan di luar kota. Trus ingat tugas mulia sebagai anak pertama. Atau jangan-jangan inikah yang namanya jumawa? Shock biasa tinggal di kota besar, ketika balik ke desa, arogannya tak terkira.
Kayak FTV saja ya. Hahaha.
Ya, rasa kaget dan kikuk itu tidak bisa aku pungkiri. Ada kebiasaan yang harus aku perbaharui lagi dan lagi. Entah sampai kapan aku bertahan dan berhasil membuat keluarga baik-baik saja. Jadi bisa sewaktu-waktu aku pergi ke lain kota ketika ada kerjaan lain yang lebih menjanjikan.
Hidup pindah-pindah begini memang tidak mudah dan selalu bikin capek. Dalam hati juga bilang, cari kontrakan itu tidak gampang lho bos. Huhuhu. Sudah memilih rumah yang cocok tapi ternyata lingkungan yang tidak mendukung. Sudah sreg sama harga dan lingkungan, rumahnya minta dibenerin terus. Sudah fix oke sama semuanya, tiba-tiba dibatalin sama si pemilik dengan alasan rumahnya mau dipakai saudaranya. Sudah kerasan nempatin, eeeh kudu pindah karena rumah mau diperbaiki dan dibikin lagi.
Semua itu pernah aku alami tentu saja. Alih-alih mikirin beli rumah, saking sering berpindah, rasanya kok semua rumah itu ada saja cacatnya. Sampai bingung mau pilih yang mana. Maka dari itu, kami masih setia bertahan menjadi kontraktor. *hush humornya humor lama*
Ini baru di wilayah jawa kok. Aku masih mikir-mikir kalau diboyong ke kalimantan. Tapi kalau ada kesempatan tinggal di luar negeri dengan kondisi negara yang oke, mungkin aku bisa tertarik juga. Hahaha.
Bikin drama reality di Bekasi |
Ketika mereka semua berbaur, otomatis ada sedikit kesenjangan karena didikan dan pola pikir yang dibentuk oleh orang tua maupun sekolah. Yang tadinya baik-baik saja, kadang goyah trus jadi ikut-ikutan usil dan nyebelin. Ya masak anak SD sudah merokok coba. Masalahnya coba-coba ini tuh ngajarin anak yang lain. Yang kelihatan anak rumahan. Kan sayang ya kan, sininya sudah berusaha, meleng sedikit saja langsung kena efek buruknya.
Bukan cuma soal anak kecil yang membahayakan. Di kampung ini pula, suami beberapa kali memergoki maling. 3 kali kalau tidak salah ingat. Dua mau masuk rumah. Yang satu lagi orang maling motor. Itu maling pake motor, jadi motornya diangkat dan digendong di tengah. Malam buta pula! Untungnya berhasil digagalkan.
Aku? Jangan tanya. Di depan kost ku yang di tengah kota tersebut, aku pernah beberapa kali nemu mbak-mbak digrepe. Bukan cuma itu, jambret pun beberapa kali ada. Sungguh miris. Padahal dipikir itu gang sempit lho. Mobil satu ngepress banget buat masuk.
Kejadian yang lain, kejadian yang lain. Mau dijabarkan malah jadi takut sendiri kan. Haha. Itu belum yang pas ngekost di Jogja. Di Bandung. Beberapa kali stay di Jakarta. Ya Tuhan, kenapa aku kerap ditunjukkan beberapa kejahatan sosial? Kenapa orang-orang kota banyak yang jahat? Trusss... kenapa aku jadi cemen. Hehe wajar sih. Wajar yakan? *pembelaan*
Tidak bisa dipungkiri, pindah ke Magelang ini, dapat dikatakan, sudah memilih kontrakan yang terbaik dari yang pernah ada. Rumah yang bertipe pas untuk keluarga kecil, Pemilik rumah yang baiknya minta ampun, tetangga yang sudah kayak saudara sendiri, keamanan kenyamanan oke dan akses yang mamadai. Trus yang paling penting, di lingkungan sini anak kecilnya juga dikenal baik dan manner. Bukan yang brutal. Kalaupun usil itu masih sewajarnya bocah. Ya mungkin karena pola pikir orang perumahan yang hampir sama. Biasanya mereka memilih karena faktor lingkungan tadi. Dan akhirnya aku membenarkan statement ini.
Sekali lagi, misal aku ingat kejadian yang berbahaya itu, lantas jadi bersyukur bisa tinggal di daerah yang adem ayem. Begitu awalnya. Fiuh lega juga ya, mana punya anak yang masih batita pula.
Eits even sudah termasuk perumahan yang terjaga dengan adanya satpam 24 jam, di komplek pun pernah ada dua kali pencurian di rumah yang sama. Plus sama-sama waktu orangnya pergi. Rumah kosongan. Padahal itu rumah sudah diteralis dan dipasang gembok.
Yang paling mengerikan lagi, di komplek ini sempat ada orang ngontrak yang ternyata sindikat curanmor. Di blok belakang sih. Orang sini banyak yang tidak kenal. Perkumpulan RT sudah, guyup rukun sering, tapi masih saja kecolongan orang yang tidak kita harapkan. Lewat drama yang panjang, akhirnya si tersangka berhasil di ringkus. Tahu apa? Dia ini sindikat curanmor besar di jawa tengah. T.T
Kemana lagi daku melangkah mencari rumah yang aman damai sentosa. Katakan ada, please.
Lebay memang. Namanya juga sudah emak-emak. Tahu ada kejadian kejahatan, langsung mikirnya jauuuh ke depan. Yang paling relevan ini: "Gimana nanti pas zamannya anakku ya? Apakah dia bisa jaga diri? Apakah dia bisa menjadi orang yang baik sesuai dengan doa dan keinginan orang tuanya?"
Yaaa... mengingat semakin ke sini, presentase kejahatan makin marak dan beragam saja. Sifat sensitif, gampang terpengaruh, gampang pamer, gampang pula punya niat jahat. Datangnya dari mana? Dari mana-manaaaa.... Duhai kenapa aku jadi bingung gini.
Sedari tadi nulis soal pernah tinggal di berbagai kota, yang mau aku sampaikan cuma, kemanapun kita tinggal, kita perlu bersikap baik tetapi di sisi lain juga kudu mawas diri. Penting soalnya. Kejahatan itu tidak hanya di satu dua wilayan. Orang yang baik dan jahat juga tersebar dimana-mana.
OK, aku perlu banyak belajar lagi tentang komunikasi terhadap orang-orang. Sah sah saja sama si A bersikap tegas. Si B bersikap halus. Sama si C dibawa santai. Beda dulu beda sekarang. Dulu boleh jadi aku cuek sama beberapa kejadian, sekarang? Aku lagi sudah melahirkan generasi untuk masa depan. Tinggal bagaimana cara kita untuk mendidik, mengajarkan, sampai memonitoring anak supaya tidak jauh melenceng dari harapan.
Ini sih niat awalnya mau sharing pengalaman tinggal di beberapa kota. Sebagai refleksi pribadi dan cara mendidik anak. Tapi busyet ternyata malah ngelantur ya blogpostnya. Hehehe. Maklumlah kebanyakan pindah ini mah. Di magelang ini tidak terasa sudah 3 tahun lho. Belum kepikiran mau kemana lagi. Masih sanggup bolak balik luar kota, yang penting anak aman kalau aku tinggal. Banyak keluarga dan tinggal akunya saja yang kudu strong luar dalam.
Ngomong-ngomong, foto-foto di atas adalah hasil jepretan suami di kala masih sibuk shooting lapangan. Pantas saja ya, kami sudah lama tidak melihat kehidupan lain di luar sana yang berbeda. Menyajikan potret masyarakat di pinggiran serta wawancara tentang keseharian mereka yang cadas dan kuat.
Mungkin kami terlalu banyak di rumah. Terlalu sempit pergaulan. Ya gimana, sehari-hari cuma ke pasar, sekolah, ke tetangga. Kalau toh meeting itu cuma bentaran saja.
Mungkin sekali-kali kami mau ajak anak buat shooting dan mengenal dunia yang sebenarnya.
Biar kami semua tahu, bahwa semua itu berbeda. Tidak ada yang sama dan kita harus selalu siap untuk semua kejadian kedepannya.
0 komentar