ANGKUH TAPI BUTUH
Nulis ini bukan cuma sekedar sharing loh, tapi buat reminder juga. Sekarang sih lagi fine-fine wae karena wish list tahun sebelumnya terpenuhi yakni: kerjaan lancar. Gimana caranya tiap bulan harus ada gawean, project selalu jalan tanpa putus. Memang sih pemasukan masih pakai termin. Bahkan beberapa malah ada yang belum dibayar. Tapi setidaknya aku enggak lagi pengangguran. Disyukuri pakai banget kok. Enggak ada berhenti ngucap Alhamdulillahirabbil alamin.
Tapi semakin lama kita banyak tawaran, otomatis pula kita jadi berani menaikkan harga. Yang paling susah adalah ketika dari awal kita sudah mematok harga sekian, itu yang akan mempengaruhi ke harga selanjutnya. Boleh dibilang mending kita cari harga awal yang aman dan nyaman saja, jangan terburu-buru cari harga rendah biar payunya lumayan. Atau sebaliknya, juga jangan tergesa-gesa matok harga tinggi sedangkan skill masih biasa saja. Dunia freelancer lebih sadis cuy, banyak yang diam-diam sudah profesional.
Cuma permasalahannya di sini. Saking kita melayang gara-gara nama baik dan jam terbang yang makin tersohor, kita sering lupa diri. Dipikir-pikir project yang gedhe-gedhe itu enggak makan waktu banyak apa? Malahan kalau mau ditotalin, sering loh, jatuhnya sama dengan yang kecil-kecil. Tapi ya itu... project gedhe seperti film layar lebar misalnya, lebih terlihat bonafide, berkelas dan berilmu pasti. Paling enggak, walaupun gajinya terhitung sama, tapi sosok kita enggak lagi dipandang sebelah mata.
Lebih berkelas mana sih antara Raffi Ahmad sama Nicholas Saputra? Nah, situ tahu kan jawabannya.
OK, yang aku akan bahas di sini adalah kita yang masih pas-pas-an. Kita yang masih sama-sama merangkak. Kita yang masih belum punya nama besar. Ketakutan terbesarku adalah suatu saat nanti aku bakal nganggur nulis naskah, nganggur enggak ada shooting-an, nganggur enggak ada tawaran kerjaan. Ya jangan sampai sih...gimana pun, menjadi freeelancer menuntut kita lebih peka dan lebih menerima. Termasuk jika kita salah sikap sedikit saja, itu bakal berakibat fatal dan justru jadi boomerang buat diri kita sendiri.
Salah satu sikap yang kadang kita lalai tersebut dijuluki dengan ANGKUH.
via GIPHY
Aku punya beberapa teman yang sering sharing soal pekerjaan. Bukan cuma satu saja loh, bahkan aku punya lima grup lintas bidang seni. Wow ya hahaha. Maklum, aku orangnya semakin banyak teman, hati juga makin senang. Apalagi yang klop, seiman, seiya, sekata. Bagiku teman juga adalah rezeki yang tak ternilai harganya.
Tanpa diduga nih ya, hampir semua punya cerita yang mirip. Jujur, termasuk aku dan Suamiku. Dalam benak kami, kami selalu pengen terima pekerjaan yang sreg, baik segi selera maupun output hasilnya. Mau ditayangkan/atau dipajang dimana, manfaatnya apa, dan yang utama fee-nya cocok atau enggak. Sedangkan kalau blogger, biasanya kesusahan nentuin rate card. Ada loh yang maunya kita cepat dilihat professional, padahal effort-nya setengah hati. Mintanya produk gratis buat di-review, tapi tulisan masih acak-acakan, belajar foto malas-malasan.
Intinya, kadang kita kesulitan menyelaraskan antara skill sama penghasilan.
PELIK YHAAA SIST!
Ngomong-ngomong, tapi kan, freelancer itu bebas nentuin apa saja? Dimana sih letak kesulitannya?
Lah justru itu say, saking bebasnya, kalau kita enggak punya kontrol, kita bisa jadi semena-mena. Kadang kalau lagi hectic, suka lupa bahwa sama do'a dan ratapan kita pas lagi nganggur. Sedih loh.
Kalau kamu bilang serba salah, ya memang benar adanya. Aku beberapa kali ngobrol sama teman-teman yang seprofesi maupun dari bidang lain, mereka cenderung punya rate card sendiri-sendiri. Enggak bisa disamaratakan. Karena pekerjaan kan bukan cuma dipengaruhi soal selera, melainkan juga soal kecepatan, maupun kualitas. Obrolan ini sungguh banyak persepsinya. Pengen dikatakan mahal sekalian atau berani murah, monggo disesuaikan saja. Terserah njenengan, adanya komunitas cuma mewadahi aspirasi. Toh sesungguhnya, menjadi freelancer juga harus bisa tegas menentukan gaji kita sendiri. Tanpa campur tangan pihak manapun.
Baca juga: RINDU ORDER
Semua kerjaan kan ada poin plus minusnya. Makanya, tak jarang waktu di tengah jalan, kita menemukan tawaran nan menggiurkan tapi enggak sesuai dengan porsi dan hati kita. Ancang-ancang pakai jurus apa nih enaknya? Tolak atau terima? Di sinilah kita bimbang, kita ragu, mau pilih kok hati enggak tentram, mau nolak kok butuh.
Dalam dunia freelancer, boleh kok kamu jual mahal, boleh kok nolak, enggak ada yang ngelarang, karena kadang memang perlu. Tapi jangan lupa banyak faktor yang kamu butuhkan kalau kamu mau sombong. Kamu yakin sudah punya ilmu tinggi belum? Kamu yakin selalu ada kerjaan belum? Kamu yakin danamu selalu cukup belum? Kamu percaya bahwa teman itu penting atau enggak? Dan banyak lagi faktor lain. Pikir sendiri deh, biar sama-sama refleksi.
Buat yang mungkin sudah memenuhi kriteria di atas, kalian boleh angkuh. Tapi buat yang belum dan masih yaaa gini-gini saja sih yaaa... Mending kalian terima dulu saja. Enggak usah malu bila kita masih dikatakan belajar. Enggak usah gengsi kalau kita sebenarnya juga butuh.
Masa' kita SUDAH ANGKUH TAPI BUTUH?
Apa sih maunya?
Kok enak-enakan saja?
Repot ya jadi manusia hahaha.
Contoh terdekat:
Suamiku punya klien dari Amerika. Eits jangan salah sangka dulu, di belahan dunia manapun, sifat klien juga macam-macam. Enggak ada yang bisa menjamin, klien enak dari negara apa. Semua negara sama, ada klien yang enak, ada juga yang enggak enak. Enak enggak enaknya ya tergantung klien tersebut, BUKAN DILIHAT DARI DAERAH MANA.
Suamiku sempat bimbang, jika si klien ini nawarin kerjaan, katanya pasti ribet, briefnya enggak jelas, harganya murah, dan revisinya makan waktu lama. Hanya ada dua pilihan kan ya, tinggal atau terima. Masalahnya gini, si klien ini cukup rutin kasih Suamiku kerjaan. Ya kalau dirupiahin, jatuhnya lumayan lah buat jatah bulanan.
Kalau misal kita bandingin kenapa dia enggak hire orang terdekatnya saja buat kerjasama, mungkin ini akan menimbulkan pemikiran sepihak bahwa si klien cuma pengen harga murah tapi kualitas seimbang. Selayaknya kita tahum charge desain aslinya kan memang mahal ya. Makanya, dia hire orang dari negara yang masih berkembang, karena dollar-nya bakalan jadi worth it begitu sampai ke negara si klien ini.
Namun yang perlu dipikirkan lagi adalah, apakah kalau Suami menolak, ia bisa dapat klien lokal dengan upah yang sama? Apakah tingkat kerewelan klien jauh berbeda? Apakah dompetnya aman damai sejahtera?
Satu kasus lagi dari aku yang mirip.
Sumpah ya, aslinya malas cerita, tapi enggakpapa deh, sebagai bahan referensi saja.
Jadi aku masih beberapa kali menerima tawaran kerjaan walaupun gaji kadang mengenaskan. Sudah dikit, lama pula cairnya Lengkap mirisnya. Dapat dikatakan ini semacam gembling karena kerjaannya ada terus. Gaji yang masukpun bisa tiap bulan. Enak enggak enak sebenarnya.
Kalau aku berpikir bahwa aku dirugikan, woya jelas. Fee-nya dibawah standar loh. Tapi, kalau aku lagi enggak ada kerjaan, baru berasa kalau ternyata...berpenghasilan itu lebih utama.
Menuntut klien enak, gaji besar, minim revisi? IN YOUR DREAM!
Gini loh, freelancer itu menuntut kita berpikir dua kali lebih logis ketimbang yang terbiasa punya rutinitas tiap harinya. Memutuskan buat menerima dan menolak pekerjaan itu jangan dipikir serta merta, perlu waktu yang cukup lama. Sehingga negosiasi pun terasa sama-sama menguntungkan. Klien dapat enaknya, kita nya juga enggak rugi.
1000 banding 1 punya klien yang manut-manut saja dan gampang keluar duitnya.
via GIPHY
Ingat, dia punya dana, tapi kita punya skill. Jual beli kan jatuhnya. Iya? Iya! Pokoknya kudu seimbang. Kalau aku sih sebisa mungkin kasih yang da best selagi kita bisa. Mayan buat portfolio tambahan. Di portfolio enggak didetailin fee-nya berapa kan? LOL.
Mungkin terdengar munafik, tapi aku selalu bilang ke banyak teman, kalau jam terbang semakin banyak, kita bisa sambil belajar dari situ. Aku ya, yang tadinya mau kursus skenario lagi, pelan-pelan malah sudah bisa sendiri kok. Karena apa? Ya sambil menyelam, minum air itu tadi. Hitung-hitung aku juga dapat nama dan dapat ilmu.
Aku pernah loh nemuin orang yang sudah terkenal tapi humble minta ampun. Dia menerapkan ilmu padi. Padahal mah kalau dipikir-pikir, zaman sekarang mana ada yang mau rendah hati ya kan?
Aku cuma mau diam-diam kita adalah orang yang hebat. Aku mau kinerja kita dinilai baik oleh orang lain. Aku enggak perlu susah payah ngomong kalau kualitas sudah bicara. Dari klien A, kita bisa dipercayai bekerjasama dengan klien B. Dari klien B merambah ke klien C. Lalu beruntun ke klien yang lain dan yang lainnya.
Aku enggak malu lagi kalau ada yang bilang, "kamu masih ajaran sih ya yos?" Terserah. Bebas.
Atau ini, Suamiku pernah bilang ke aku, "kamu kok sekarang lebih suka merendah sih?" Trus ya aku jawab kalau aku memang masih merangkak. Aku belum bisa berdiri sendiri. Masih banyak hal-hal yang harus aku pelajari. Entah sampai kapan aku enggak akan bosan.
Hidup itu perjuangan. Tak ada hasil tanpa proses cukup panjang. Yok sama-sama saling menguatkan!
Diambil pukul 06.49 WIB |
Cuma permasalahannya di sini. Saking kita melayang gara-gara nama baik dan jam terbang yang makin tersohor, kita sering lupa diri. Dipikir-pikir project yang gedhe-gedhe itu enggak makan waktu banyak apa? Malahan kalau mau ditotalin, sering loh, jatuhnya sama dengan yang kecil-kecil. Tapi ya itu... project gedhe seperti film layar lebar misalnya, lebih terlihat bonafide, berkelas dan berilmu pasti. Paling enggak, walaupun gajinya terhitung sama, tapi sosok kita enggak lagi dipandang sebelah mata.
Lebih berkelas mana sih antara Raffi Ahmad sama Nicholas Saputra? Nah, situ tahu kan jawabannya.
OK, yang aku akan bahas di sini adalah kita yang masih pas-pas-an. Kita yang masih sama-sama merangkak. Kita yang masih belum punya nama besar. Ketakutan terbesarku adalah suatu saat nanti aku bakal nganggur nulis naskah, nganggur enggak ada shooting-an, nganggur enggak ada tawaran kerjaan. Ya jangan sampai sih...gimana pun, menjadi freeelancer menuntut kita lebih peka dan lebih menerima. Termasuk jika kita salah sikap sedikit saja, itu bakal berakibat fatal dan justru jadi boomerang buat diri kita sendiri.
Salah satu sikap yang kadang kita lalai tersebut dijuluki dengan ANGKUH.
Aku punya beberapa teman yang sering sharing soal pekerjaan. Bukan cuma satu saja loh, bahkan aku punya lima grup lintas bidang seni. Wow ya hahaha. Maklum, aku orangnya semakin banyak teman, hati juga makin senang. Apalagi yang klop, seiman, seiya, sekata. Bagiku teman juga adalah rezeki yang tak ternilai harganya.
Tanpa diduga nih ya, hampir semua punya cerita yang mirip. Jujur, termasuk aku dan Suamiku. Dalam benak kami, kami selalu pengen terima pekerjaan yang sreg, baik segi selera maupun output hasilnya. Mau ditayangkan/atau dipajang dimana, manfaatnya apa, dan yang utama fee-nya cocok atau enggak. Sedangkan kalau blogger, biasanya kesusahan nentuin rate card. Ada loh yang maunya kita cepat dilihat professional, padahal effort-nya setengah hati. Mintanya produk gratis buat di-review, tapi tulisan masih acak-acakan, belajar foto malas-malasan.
Intinya, kadang kita kesulitan menyelaraskan antara skill sama penghasilan.
PELIK YHAAA SIST!
Ngomong-ngomong, tapi kan, freelancer itu bebas nentuin apa saja? Dimana sih letak kesulitannya?
Lah justru itu say, saking bebasnya, kalau kita enggak punya kontrol, kita bisa jadi semena-mena. Kadang kalau lagi hectic, suka lupa bahwa sama do'a dan ratapan kita pas lagi nganggur. Sedih loh.
Kalau kamu bilang serba salah, ya memang benar adanya. Aku beberapa kali ngobrol sama teman-teman yang seprofesi maupun dari bidang lain, mereka cenderung punya rate card sendiri-sendiri. Enggak bisa disamaratakan. Karena pekerjaan kan bukan cuma dipengaruhi soal selera, melainkan juga soal kecepatan, maupun kualitas. Obrolan ini sungguh banyak persepsinya. Pengen dikatakan mahal sekalian atau berani murah, monggo disesuaikan saja. Terserah njenengan, adanya komunitas cuma mewadahi aspirasi. Toh sesungguhnya, menjadi freelancer juga harus bisa tegas menentukan gaji kita sendiri. Tanpa campur tangan pihak manapun.
Baca juga: RINDU ORDER
Semua kerjaan kan ada poin plus minusnya. Makanya, tak jarang waktu di tengah jalan, kita menemukan tawaran nan menggiurkan tapi enggak sesuai dengan porsi dan hati kita. Ancang-ancang pakai jurus apa nih enaknya? Tolak atau terima? Di sinilah kita bimbang, kita ragu, mau pilih kok hati enggak tentram, mau nolak kok butuh.
Dalam dunia freelancer, boleh kok kamu jual mahal, boleh kok nolak, enggak ada yang ngelarang, karena kadang memang perlu. Tapi jangan lupa banyak faktor yang kamu butuhkan kalau kamu mau sombong. Kamu yakin sudah punya ilmu tinggi belum? Kamu yakin selalu ada kerjaan belum? Kamu yakin danamu selalu cukup belum? Kamu percaya bahwa teman itu penting atau enggak? Dan banyak lagi faktor lain. Pikir sendiri deh, biar sama-sama refleksi.
Buat yang mungkin sudah memenuhi kriteria di atas, kalian boleh angkuh. Tapi buat yang belum dan masih yaaa gini-gini saja sih yaaa... Mending kalian terima dulu saja. Enggak usah malu bila kita masih dikatakan belajar. Enggak usah gengsi kalau kita sebenarnya juga butuh.
Masa' kita SUDAH ANGKUH TAPI BUTUH?
Apa sih maunya?
Kok enak-enakan saja?
Repot ya jadi manusia hahaha.
Contoh terdekat:
Suamiku punya klien dari Amerika. Eits jangan salah sangka dulu, di belahan dunia manapun, sifat klien juga macam-macam. Enggak ada yang bisa menjamin, klien enak dari negara apa. Semua negara sama, ada klien yang enak, ada juga yang enggak enak. Enak enggak enaknya ya tergantung klien tersebut, BUKAN DILIHAT DARI DAERAH MANA.
Suamiku sempat bimbang, jika si klien ini nawarin kerjaan, katanya pasti ribet, briefnya enggak jelas, harganya murah, dan revisinya makan waktu lama. Hanya ada dua pilihan kan ya, tinggal atau terima. Masalahnya gini, si klien ini cukup rutin kasih Suamiku kerjaan. Ya kalau dirupiahin, jatuhnya lumayan lah buat jatah bulanan.
Kalau misal kita bandingin kenapa dia enggak hire orang terdekatnya saja buat kerjasama, mungkin ini akan menimbulkan pemikiran sepihak bahwa si klien cuma pengen harga murah tapi kualitas seimbang. Selayaknya kita tahum charge desain aslinya kan memang mahal ya. Makanya, dia hire orang dari negara yang masih berkembang, karena dollar-nya bakalan jadi worth it begitu sampai ke negara si klien ini.
Namun yang perlu dipikirkan lagi adalah, apakah kalau Suami menolak, ia bisa dapat klien lokal dengan upah yang sama? Apakah tingkat kerewelan klien jauh berbeda? Apakah dompetnya aman damai sejahtera?
Satu kasus lagi dari aku yang mirip.
Sumpah ya, aslinya malas cerita, tapi enggakpapa deh, sebagai bahan referensi saja.
Jadi aku masih beberapa kali menerima tawaran kerjaan walaupun gaji kadang mengenaskan. Sudah dikit, lama pula cairnya Lengkap mirisnya. Dapat dikatakan ini semacam gembling karena kerjaannya ada terus. Gaji yang masukpun bisa tiap bulan. Enak enggak enak sebenarnya.
Kalau aku berpikir bahwa aku dirugikan, woya jelas. Fee-nya dibawah standar loh. Tapi, kalau aku lagi enggak ada kerjaan, baru berasa kalau ternyata...berpenghasilan itu lebih utama.
Menuntut klien enak, gaji besar, minim revisi? IN YOUR DREAM!
Gini loh, freelancer itu menuntut kita berpikir dua kali lebih logis ketimbang yang terbiasa punya rutinitas tiap harinya. Memutuskan buat menerima dan menolak pekerjaan itu jangan dipikir serta merta, perlu waktu yang cukup lama. Sehingga negosiasi pun terasa sama-sama menguntungkan. Klien dapat enaknya, kita nya juga enggak rugi.
1000 banding 1 punya klien yang manut-manut saja dan gampang keluar duitnya.
Ingat, dia punya dana, tapi kita punya skill. Jual beli kan jatuhnya. Iya? Iya! Pokoknya kudu seimbang. Kalau aku sih sebisa mungkin kasih yang da best selagi kita bisa. Mayan buat portfolio tambahan. Di portfolio enggak didetailin fee-nya berapa kan? LOL.
Mungkin terdengar munafik, tapi aku selalu bilang ke banyak teman, kalau jam terbang semakin banyak, kita bisa sambil belajar dari situ. Aku ya, yang tadinya mau kursus skenario lagi, pelan-pelan malah sudah bisa sendiri kok. Karena apa? Ya sambil menyelam, minum air itu tadi. Hitung-hitung aku juga dapat nama dan dapat ilmu.
Poinnya begini kalau mau tahu standar dirimu sendiri:
❤ Cari tahu harga pasaran
❤ Jangan malu berteman
❤ Jangan malu belajar
❤ Jangan anggap diri kita sudah paling besar
Masalah terpelik dalam dunia freelancer adalah, kalau ada tawaran pekerjaan: kadang menggiurkan, kadang mengenaskan, kadang menyakitkan. Tinggal kita itu gimana, mau terima atau tolak saja? Kalau tolak jangan sampai menyesal, kalau terima kudu berani ambil konsekuensinya. Apalagi ketahuan kalau kita itu cuma angkuh tapi jebul masih butuh.
Aku pernah loh nemuin orang yang sudah terkenal tapi humble minta ampun. Dia menerapkan ilmu padi. Padahal mah kalau dipikir-pikir, zaman sekarang mana ada yang mau rendah hati ya kan?
Aku cuma mau diam-diam kita adalah orang yang hebat. Aku mau kinerja kita dinilai baik oleh orang lain. Aku enggak perlu susah payah ngomong kalau kualitas sudah bicara. Dari klien A, kita bisa dipercayai bekerjasama dengan klien B. Dari klien B merambah ke klien C. Lalu beruntun ke klien yang lain dan yang lainnya.
Aku enggak malu lagi kalau ada yang bilang, "kamu masih ajaran sih ya yos?" Terserah. Bebas.
Atau ini, Suamiku pernah bilang ke aku, "kamu kok sekarang lebih suka merendah sih?" Trus ya aku jawab kalau aku memang masih merangkak. Aku belum bisa berdiri sendiri. Masih banyak hal-hal yang harus aku pelajari. Entah sampai kapan aku enggak akan bosan.
Kepercayaan itu mahal harganya. Jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan kalau kita bisa. Jangan gunakan angkuhmu selagi kamu masih butuh.
Lagian masa' mau nurutin idealisme terus sih? Apalagi sudah punya anak, PENGHASILAN TETAP juga harus dinomorsatukan. Realistis saja say, jangan kebanyakan pakai hati, nanti jatuhnya gengsi.
Lagian masa' mau nurutin idealisme terus sih? Apalagi sudah punya anak, PENGHASILAN TETAP juga harus dinomorsatukan. Realistis saja say, jangan kebanyakan pakai hati, nanti jatuhnya gengsi.
Hidup itu perjuangan. Tak ada hasil tanpa proses cukup panjang. Yok sama-sama saling menguatkan!
2 komentar
Hmmn... Bicara soal tawaran kerjaan, sejujurnya aku sering menolak. Tapiii ini bukan berarti aku sombong ato angkuh nolak rezeki. Karena gini, aku skr punya kerjaan tetep di kantoran. Dan itu trus terang menyita waktu. Banget. Pergi pagi, pulang sampe malam. Kalo seandainya aku terima kerjaan menulis sponsored post yg ditawarkan, aku takutnya ga bisa kah yg terbaik, karena waktuku udh tersita utk kantor, dan sekalinya kosong, itu bener2 aku gunain buat istirahat.
ReplyDeleteKalo dipaksa utk ngambil kerjaan menulis lg, aku ga yakin bisa bagus dan maksimal. Itu sih, alasan selama ini aku ga mau memonetisasi blogku kyk para bloggers lain :). Tapi terkadang aku jelasin kok ke para pemberi tawaran, kalo aku memang blm bisa menerima kerjaan itu krn alasanku td. Dan kebanyakan ngerti :). Toh walo menolak, ttp kita harus baik krn siapa tau suatu saat nanti aku butuh. :) Ga ada yg jamin aku bisa selamanya kerja kantoran kan
Nah karena aku freelancer, kudu mikir dua kali mbak kalau mau nolak. Sekarang sudah agak lumayan bisa nolak, kalo inget dulu pas awal2 jadi freelancer ya berdarah-darah hehe
Delete