MENAKAR KEBUTUHAN
Kapan hari, pas kami makan di luar, ada moment yang cukup membekas buat dijadiin pelajaran. Ya salah sendiri sih, sekalinya dapet jackpot kerjaan, hobinya ngabisin duit buat kulineran. Sungguh hal yang nirfaedah kalau dilakukan terus-terusan yekan.
Jadi waktu itu, pertama kalinya Alya lihat mobil mewah berhenti di valley parkir. Mobil yang pintunya bisa buka sendiri itu loh dan dia takjub. Melongo. Ndeso. Sambil teriak pula: "Wah keren... kita bisa beli itu enggak ma?".
Shock juga sih kenapa harus ada kata "kita bisa beli enggak?" Memangnya butuh? Memangnya kami bisa beli? Makanya walaupun aku ngakak denger celutukannya, aslinya aku mikir dalem banget. Beneran nih kalau punya uang bakalan beli mobil yang mahal-mahal? Beneran nih bisa berjuang cuma buat dapetin mobil doang?
Yak, yang mau aku bahas di sini adalah soal gimana cara kita bertahan hidup dan apa saja sih yang kita butuhkan. Pas banget karena beberapa hari ini ngerasa bahwa pendapatan dan pengeluaran kok ya ngepres enggak ada sisa.
Photo Credit: Chandra Pradityatama |
Sudah bukan rahasia lagi, waktu aku giat bekerja, ngabisin gaji termasuk kesenangan tiada duanya. Heran juga, duit selalu habis seberapapun jumlahnya. Ada sih beberapa aku tabung buat kebutuhan dadakan, tapi itu enggak seberapa. Aku lebih memilih foya-foya ketimbang nabung buat masa tua. Bisa dibilang ini akibat dulu aku enggak bisa dapetin yang aku mau. Jadi misal gajian, ya itu hak ku, aku sudah susah payah kerja cari uang, masak enggak boleh sih senang-senang. Hiyak, cem mana bisa berkembang kalau gini caranya.
Aku mulai punya tabungan justru ketika ada wacana nikah. Padahal aku dan (calon) Suamiku ini sudah bukan pegawai kantoran lagi. Kami sudah resign dan sama-sama freelancer. Lebih susah kan sebetulnya, tapi ya bisaaa loh, kalau dipaksa! Karena aku jadi sadar, baru ngeh gitu kalau hidup itu harus ada tujuan, dan semua kok rasanya berbau uang ya seus. Cry me a river enggak sih ini?
via GIPHY
Deal or no deal, itulah yang namanya realita. Idealnya gini. Nikah mau gaya gimana, ya sesuaikan budgetnya. Habis nikah mau punya anak berapa, ya harus siap materi dan mental. Habis punya anak mau disekolahin dimana, ya kudu siap nabung karena termasuk kewajiban. Jangan sampai nambah beban mulu, tiap kita memilih sesuatu.
Deal or no deal, itulah yang namanya realita. Idealnya gini. Nikah mau gaya gimana, ya sesuaikan budgetnya. Habis nikah mau punya anak berapa, ya harus siap materi dan mental. Habis punya anak mau disekolahin dimana, ya kudu siap nabung karena termasuk kewajiban. Jangan sampai nambah beban mulu, tiap kita memilih sesuatu.
Eits jangan salah, gini-gini aku punya satu prinsip yang selalu aku pegang teguh: aku enggak mau memaksakan keadaan. Semua yang sudah berkecukupan, harus disyukuri. Itu yang harus dimanfaatkan, kalau misalpun besok pengen naikin kemampuan, ya kudu pelan-pelan.
Iya aku berjuang, tapi duit yang aku pegang, selalu jadi pedoman. Oh bulan ini aku belum bisa nabung nih, aku kudu alokasikan ke pengeluaran bulanan. Oh bulan ini ada sisa, Alya bisa beli mainan. Dan sekarang, hal yang terpenting adalah jangan sampai nambah hutang. Segini saja sudah cukup deh. Kalau bisa malah harus segera dilunasih, biar plong, karena hutang itu beban banget loh ternyata.
Mungkin terdengar gampang dan halah gitu doang. Tapi kalau kalian sadar, ini susah bingit loooh! Beberapa temen ngaku makin tinggi karir yang kita capai, makinlah kita jumawa menyetarakan keadaan. Sayangnya, enggak sedikit yang kemudian menyesali karena kebutuhannya meningkat drastis dan enggak bisa mencukupinya. Jadi, sebelum terlambat, mari kita renungkan dari lubuk hati yang paling dalam.
Baca juga: Tentang Pilihan Menjadi Freelancer
Aku tahu kok, setiap orang punya tingkat kebutuhan berbeda dan berubah seiring perjalanan karirnya. Gini loh, misalnya dulu kita cuma bisa jalan kaki naik angkot buat kerja, ya sudah, kita tetep jalanin dengan hati yang gembira kan ya?
Aku tahu kok, setiap orang punya tingkat kebutuhan berbeda dan berubah seiring perjalanan karirnya. Gini loh, misalnya dulu kita cuma bisa jalan kaki naik angkot buat kerja, ya sudah, kita tetep jalanin dengan hati yang gembira kan ya?
Beberapa lama kemudian, karena kita dianggap sudah lama bekerja, gaji ditingkatkan. Enggak ngangkot lagi dong mikirnya. Beli lah motor, niatnya biar ngirit dan enak buat mobilitas. Tapi jangan lupa, kita dihadapin sama yang namanya cicilan. Makan pun yang biasanya bawa dari rumah, berubah ke makanan warteg tiap siang.
Sudah enak nih ngatur cash flownya, eeeh enggak disangka dapet reward karena kerjaan lancar. Jabatan naik, gaji naik. Masa jabatan sudah naik, bawanya motor matic? Kepincutlah sama mobil. Mobilnya yang AC, mulus, irit, dan tahun baru biar perawatan enak. Makan siang sudah berani ke foodcourt mahal. Gaji yang tadinya bisa ada sisa, harus ngikutin gaya hidupnya.
Ya enggak salah, lagian siapa sih di dunia ini yang enggak mau diakui keberadaannya. Mana kalau sudah berbau uang pada panas-panasan. Ngelihat yang sini rumahnya tingkat, pengen ikutan. Ngelihat yang sana mobilnya double gardan, diem-diem pengen juga. Life is hard ya, manusia kapan sih puasnya?
Ketambahan didukung sama media sosial. Sudah berapa banyak sih yang 'keracunan' beli produk walaupun enggak butuh-butuh amat? Beli makan pun sudah mahal-mahal enggak dihabiskan. Kasihan loh kalau inget orang yang kelaparan. Impulsif buyer cuma membuat jati diri kita kehilangan identitasnya. Iya, krisis identitas. Semua-mua dipengeni, semua-mua dibeli.
Sejatinya manusia itu memang begitu adanya. Tapi kadang beberapa dari kita lalai, kalau materi bukanlah yang utama. Ngelihatnya ke atas terus, lupa kalau di bawah ada yang lebih membutuhkan. Coba deh refleksi, tiap gajian disisihkan buat zakat enggak, buat sedekah enggak, buat berbagi enggak? Malu ah punya mobil bagus-bagus tapi bahan bakar milihnya premium. Malu ah punya rumah mewah tapi gas nya 3 kilo. Mana duit sisa dibelanjain ke mal. Terus bilang hidup itu adil. ADIL DARI HONGKONG?
Oke duit itu adalah topik yang sensitif. Aku paham. Aku juga ngerasa bahwa selama ini lebih banyakan gaya ketimbang nurutin kebutuhan pokok yang sebenarnya. Kalau duit masuknya lebih banyak, tangan gatel kayak pengen semua di beli. Tapi sekali lagi, aku selalu mikir duitku segitu ya harus dimanfaatkan segitu juga. Bukan yang lalu lantang beli yang lebih dari itu. Beneran enggak berani.
Tapi orang beda-beda sih ya. Aku juga inget pernah punya kenalan yang idealis banget. Stylenya berasa yang paling unik, sikapnya membela kaum yang tertindas, nongkrongnya di cafe temen, obrolannya berat pun. Sampai misal aku makan KFC, dibilangnya makan produk kapitalis. Oke fine, judge me, no problem.
Yang lucu, idealismenya ini enggak disertai dengan niatan dan keinginan untuk berjuang melawan produk kapitalis. Kerja masih angot-angotan, enggak mau berkarya, dan enggak pede bersaing di dunia global, tapi begitu dapet duit, ya sama saja ngincernya NIKE. Habis beli merek internesyenel dipamerin pas nonton gigs, habis itu pula jadi bokek alias cuma bisa pesen kopi sachet. Ya adaaa!!!
via GIPHY
Kebutuhan hidup memang enggak semua sama. Cuma ya masa' kita harus nurutin ego kita sih. Buat apa ngajuin hutang segitu banyaknya tapi dalam hati kita lara? Buat apa kita foya-foya kalau yang pokok saja belum dipenuhi kewajibannya? Buat apa? Buat eksistensi doang? Biar kita dilihat oleh orang? Masa' sama hasrat mau pamer saja kalah sih. Malu dong sama caption yang penuh petuah bijak.
Kebutuhan hidup memang enggak semua sama. Cuma ya masa' kita harus nurutin ego kita sih. Buat apa ngajuin hutang segitu banyaknya tapi dalam hati kita lara? Buat apa kita foya-foya kalau yang pokok saja belum dipenuhi kewajibannya? Buat apa? Buat eksistensi doang? Biar kita dilihat oleh orang? Masa' sama hasrat mau pamer saja kalah sih. Malu dong sama caption yang penuh petuah bijak.
Dunia ini fana. Enggak semua harus dibeli dan enggak semua kudu dimiliki. Serius, ada yang lain yang bisa kita perjuangkan, ilmu dan teman misalnya. Berbagi seberapapun yang kita miliki, saling memberi, saling menerima, adalah kondisi sosial yang bisa membuat tentram. Enggak perlu memuaskan hasrat demi diakui, karena yang terpenting adalah kebaikan hati.
Aku belajar dari Mamaku sendiri. Beliau yang terpuruk saja bisa bangkit dengan tenaga baru loh. Beliau sanggup beli rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Tabungan dan dana pensiunnya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk masa tuanya.
Mama bilang: "Mama mau beli rumah yang pas dengan uang mama saja. Daripada nanti nambah beban". Iya, Mama enggak mau kredit-kredit segala. Berbekal usaha ekstra dan doa, Mama beli rumah di desa dengan uang yang beliau punya. Dan itu tanpa membebani keluarganya. That's why I love her as my role model.
Saat ini kondisiku masih jauuuh dari kata berkecukupan, tapi setidaknya aku enggak menyakiti diriku sendiri dengan nafsu belaka. Aku bahagia melihat kami sekeluarga sehat. Aku senang kerjaanku lancar dan keuangan berjalan sebagaimana mestinya. Kalau sedang merasa semua serba ngepres gini, jangan kasih kendor ke bulan berikutnya. Aku harus berusaha terus biar stabil dulu. Enggak mau yang muluk-muluk biar gampang mencapainya. Senangnya, sekarang aspek logikaku lebih dominan ketimbang aspek emosi. Ada tuntutan untuk selalu berpikir ke depan.
Kan katanya materi enggak kita bawa sampai mati. So, apakah hidup kita sudah nyaman? Selama ini kita menggunakan waktu kita untuk apa saja sih? Apa yang sudah kita lakukan? Dan apa yang sudah kita dapatkan? Semua orang berbeda, termasuk menakar kebutuhannya. Jangan memaksa apa yang belum kamu bisa. Jangan memanipulasi apa yang tidak kita sukai. Jangan hanya panasan seakan paling benar.
Sekali lagi, sebelum memutuskan sesuatu, kita harus rela mengakui dulu, ini untuk apa nih? Kebutuhan atau kepuasan? Maka, sesuaikanlah sama keadaan.
2 komentar
Beeeeh bener banget, mba. Saya kerja dari umur 19 tapi nggak punya apa-apa. Alias gajian cuma buat jajan dan nongkrong. Pas punya anak baru bisa nabung dan invest. Kayaknya butuh reason yang didepan mata dulu baru bisa.
ReplyDeleteBener mbak, kudu ada yang bikin kita sadar kalau ternyata kebutuhan itu makin banyak ya kedepannya hehe
Delete