UKURAN KESUKSESAN
Ukuran kesuksesan itu apa sih menurutmu? Punya rumah, punya mobil, hidup di luar negeri, naik haji, bisa pergi ke bulan, jenjang pendidikan dan karir yang tinggi, atau... di rumah saja ngurus anak biar tumbuh baik dan bikin Suami makin bahagia? Banyak ya kalau dijabarin.
Aku inget banget waktu lulusan SMA, aku disuruh nulis cita-cita hidup. Waktu itu blas enggak tahu deh besok kalau sudah besar mau ngapain. Pokoknya ikut saja where the wind blows, toh belum nginjek jenjang kuliah. Woiya, bagiku yang pengen banget kuliah dan didukung oleh keuangan keluarga yang saat itu sedang lumayan, kuliah bakalan jadi batu loncatan dan membuka wawasan. Masalahnya, iya kalau aku keterima di Universitas yang aku dambakan, lah kalau enggak, pilihannya jadi disepersempit lagi kan. Pilihan yang Papa Mama tawarkan cukup nantang: Boleh kuliah di luar kota asal negeri, atau kalau enggak keterima dan dapetnya swasta ya mending di Magelang. Hayoloh mau ngotot apa selain "yadahdeh, buktiin wae".
Sejak kelas 3, aku sudah pengen kuliah di ISI. Simple, om dan tante beberapa kuliah di sana, cuma, mostly di jurusan Seni Pertunjukkan. Om yang satu ambil mayor biola, tante ambil jurusan etnomusikologi mayor cello, dan om yang satu lagi ambil jurusan Seni Media Rekam. Berbekal tanya terus dan dengerin nasehat mereka, maka aku memilih jurusan Seni Media Rekam jurusan Televisi. Ya untung sih, enggak kepedean ambil jurusan vocal (hakdesh).
Kuliah di ISI nyatanya perlahan merubahku menjadi manusia yang bebas namun realistis. Gini loh, dalam dunia film dan televisi, there are lot of things to learn. We are one team. Aku kudu mikirin outputku nanti habis kelar kuliah gimana. Mau jadi apa? Sutradara? Produser? Penulis Naskah? Wardrobe? Cameraman? Semuanya enggak aku pikirkan dari awal, aku mulai memilih justru waktu Tugas Akhir. Beneran blank dan semua posisi kayak bagus semua gitu.
Singkat cerita, kondisi keuangan keluarga mulai corat marut dan bikin aku sadar diri untuk harus meringankan beban Papa Mama. Aku kebantu sama beasiswa, dan di semester akhir, aku memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Lumayan sih, bisa buat makan sehari-hari. Makanya, aku enggak mau lama-lama kuliah. Gimana caranya kudu lulus, bodo' amat ada yang bilang aku sarjana prematur. Maklum, dulu di ISI persentase yang lulus cepat, lebih sedikit ketimbang angkatan lama yang masih bertahan. Namun, yang jadi persoalan di sini bukan gagah-gagahan lulus duluan, melainkan, kalau aku bertahan kuliah lebih lama lagi, siapa yang sanggup bayar semua biaya? Toh nilai C ku cuma sedikit, dan IPK ku sudah 3 koma. Jadi, ukuran kesuksesanku saat itu adalah, lulus dengan cepat!
Agak enggak nyangka juga karena beberapa hari setelah wisuda, aku dapat panggilan dari sebuah production house, dan langsung keterima. Wah sudah deh, segala kerjaan freelance ku aku tolak dan lebih ngerasa pasti karena bisa dibilang tiap hari aku bakalan ngantor. Apalagi di PH ku kerja, sedang ada syuting stripping dan gajinya cocok untuk fresh graduated sepertiku. Plus bonus tinggal di Semarang yang bisa lah ya, tiap minggu pulang. Deal kan? Ukuran kesuksesanku berubah menjadi bisa bahagiain orang tua. Enggak perlu muluk-muluk kok.
And yeah, terjadi loh dalam waktu singkat. Mereka senang sekali waktu tahu aku masuk TV.... sebagai kru. Hahaha. Oiya sama satu lagi, namaku ada di credit title. Yang bangga bukan cuma keluarga kayaknya, tapi orang sekampung, sealumni sekolahan, sampai siapa lagi ya hahaha. Malu ah kalau inget.
Move to, lama-lama aku bosan dan ngerasa gaji enggak seberapa dibanding dengan apa yang sudah aku kerjakan. Beneran yang definisi kerja lembur bagai kuda. Berangkat pagi, pulang tengah malam, berangkat pagi lagi, syukur-syukur bisa pulang kost-an. Selama 4 tahun lebih badanku kerasa remuk redam. Penyakit yang aku derita makin macam-macam. Yang asmanya sering kumat lah, asam lambung lah, radang usus besar lah, typus kambuh-kambuhan lah, dan semua itu enggak banyak yang tahu loh. Cuma ya gimana sih, aku tetep bertahan demi nabung untuk menikah, sesuai dengan yang orang tuaku inginkan. Iya, orang tuaku keburu pengen momong cucu, mana lihat aku sudah pacaran lama pula. Pokoknya demi bisa membahagiakan orang tuaku, syaratnya cuma satu: MENIKAH. Mampas, dipikir gampang apa ya. Puyeng juga ini. Padahal di sisi lain, visiku sudah beda lagi: choosing freedom of my own kingdom. Busyet boleh banget gayanya.
Makin dewasa, makin berpikir bahwa kesuksesan lebih spesifik lagi dibicarakan. Akhirnya menjelang menikah sampai saat ini, aku ngerasa nyaman dengan status freelancer. Dulu sih sebelum nikah aku masih ikutan syuting dan ketertarikanku ke bagian produksi. Biasanya didaulat jadi Line Producer, soalnya dari dulu aku memang ngebet pengen jadi Producer Film. But, life is change yo. Agak ngos-ngosan juga loh ngerti bahwa orang tuaku cerai terus kondisi keuangan makin miris. Antara ngejar karir keluar kota terus dan enggak balik balik Magelang, atau aku harus berdamai dengan keadaan?
Baca juga: Berdamai Dengan Diri Sendiri
Bisa apa aku selain mendekati mereka? Mendekati dalam arti yang bener-bener jadi penengah buat keluarga. Pilihan yang sulit banget ini. Tapi gimanapun, aku tetap memutuskan: balik ke Magelang dan berdamai dengan keadaan.
Baca juga: Kemenangan Yang Aku Inginkan
Sekarang aku memilih jadi freelancer, nulis naskah dan skenario di rumah, sambil momong anak, sambil ngerjain kerjaan rumah tangga. Sounds fair ha? Aku berubah karena kondisi. Berubah jadi manusia yang fleksibel dengan banyak opsi. Aku mengenal yang namanya priority. Sebuah hal yang membuatku lebih realistis ketimbang memikirkan banyak angan yang enggak semua terpenuhi. Prioritas adalah akar dari kesuksesan yang akan kita capai.
Ini belum ngomongin soal anak loh. Aku juga pengen Alya jadi anak yang baik, sehat terus, dan bermanfaat bagi banyak orang. Aku cukup concern juga ke parenting. Enggak cuma ngurus kerjaan saja. Pengennya balance gitu kan. Seneng deh, ngelihat fase Alya yang tumbuh sewajarnya. Aku seneng dia bisa ASIX, aku seneng dia bisa bobok sendiri, aku seneng dia enggak nangis lagi di sekolah, aku seneng dia sekarang rajin ngaji. Kesuksesan ada di sudut pandangku terhadap anak. Aku ingin sukses mendidik anak!
Manusia memang enggak habis-habisnya puas diri. Ingin ini terpenuhi, ganti itu lagi, sampai semua sudah di tangan, masih saja ngerasa kurang. Ya begitulah. Aku sekarang lebih memilih untuk berkecukupan, bukan yang bergelimangan. Karena kalau kita sudah overdosed, biasanya kita mabuk akan pemikiran diri sendiri. Aku berusaha terus supaya bisa dapetin wawasan (walaupun sehari-hari di rumah), berteman dengan lebih banyak orang, lebih banyak mendengarkan, dan... enggak emosian.
Oke, lets back to topic. Paham kok, banyak orang bilang kalau sukses itu identik sama yang namanya cukup materi. Enggak munafik ya, dengan materi kita bisa membeli dan meraih apa yang kita pengen. Tapi ternyata, beberapa kali aku ketemu orang yang tampak sukses secara materi tapi hatinya enggak nyaman dan enggak bahagia. Beberapa dari mereka mengaku, ada yang ngerasa jadi jauh dari keluarganya, ada yang ngerasa sepi, ada yang ngerasa bosan karena enggak ada proses berjuang lagi.
Kebalikannya. Ada kok yang ngeklaim dirinya sukses karena travelling terus keluar negeri, tapi ternyata duit hasil pinjem sana sini. Terus ada juga yang bangga karena sukses bisa dapet mobil segala macam padahal hasil korupsi. Mana di post di media sosial lagi. Ada juga yang sibuk instastory tiap hari makan-makan padahal ditraktir orang. Semua kesuksesan yang dipamerin kayak sengaja biar orang lain cemburu atas apa yang sudah dicapainya. Apa enggak ngajak berantem namanya?
Maka, ukuran kesuksesan jangan pernah dikaitkan dengan gengsi. Ingat, gengsi itu enggak bakal mencukupi loh. Ia hanya akan membuat penyakit hati. Kesuksesan baiknya disesuaikan sama keadaan. Enggak bisa mencapai sesuatu, ya enggak usah ngoyo. Tekad kuat itu enggak harus serta merta, ada kegigihan serta proses yang enggak instan.
Jadi, ukuran kesuksesan itu dari tolok ukur apa? Jawabannya adalah, enggak ada jawaban yang paling benar, karena ukuran kesuksesan itu tidak sama bagi semua orang. Ada yang nyaman hidupnya tinggal di desa, ada pula yang happy hidupnya penuh dengan keglamouran di tengah kota. Enggak ada yang benar dan salah, karena semua punya kepuasan berbeda. Sukses, hanya perlu perasaan yang membuatmu benar-benar bahagia seutuhnya.
4 komentar
ngomongin definisi sukses tuh emang nggak ada abisnya ya mbak, kadang malah puyeng sendiri. eh itu sih aku hehe
ReplyDeleteIya er, sama kok. Aku malah sering muluk-muluk ini hehe
DeleteUkuran kesuksesan tiap orang berbeda2 pastinya mbak. Ada yg merasa sukses kalau udh dpt gaji sesuai yg dia inginkan. Ada juga yg merasa sukses kalau udh dpt jabatan yg mreka inginkan. Ada juga yg udah sukses cukup dgn merdeka secara finansial hihi. Itu baru melulu soal karir & finansial. Belum soal yg lain2 hihihi, rumit ya ternyata.
ReplyDeleteBetul mbak, tiap orang punya goals yang beda :)
Delete