ANAK PENURUT YANG GIMANA?
Blogpost ini sudah agak lama ngendon sebagai draft, dan mulai aku lanjutin karena kemarin malem, ada salah seorang temen yang nge tag di instagram soal anak ngeyelan. Fiuh, baru mau leha-leha bentar, eh baru keingetan kalau semingguan nggak ngeblog. Hehehe. Yawes, karena sudah nemu treatment yang ampuh buat Alya, jadi aku mau share soal anak penurut juga ya.
Sebelumnya aku kasih prolog dulu nih. Papaku kayaknya adalah orang nomor satu deh, kalau mau aku sebut sebagai orang yang paling ngotot bilang aku anak ngeyelan. Papa tuh bisa hampir tiap hari marah dan marahnya itu lama. Tahu sendiri deh zaman kita kecil, kalau orang tua marah, kita harus gimana, kita harus diem tunduk patuh dan enggak ngelawan. Ya gimana mau ngelawan, orang diem saja marahnya lama. Enggak kebayang kan kalau ngelawan. Bisa berjilid-jilid ceritanya.
Jadi, masa kecilku termasuk yang suram. Pergaulanku di sekolah dan di rumah dibatasin. Aku hanya boleh main pas siang, itupun karena siang aku ke rumah eyang. Di kampung eyanglah aku punya beberapa teman, kalau di kampungku sendiri beneran blas kayak enggak kenal siapa-siapa.
Aku bener-bener takut sama Papa. Aku tuh selalu memendam apa yang ingin aku katakan. Jika ada yang bilang sikap ngeyelan ini ada hubungannya sama sikap percaya diri, itu beneran aku alami. Aku bahkan enggak tahu celah buat ngasih argumenku dan ngasih kepercayaan ke Papa kalau aku itu benar. Serem sih kalau inget. Tapi sekarang jadi geli sendiri, justru aku yang balik menilai, kalau Papa ini hanya mau didengerin, sampai lupa anaknya mau ngomong apa. Hehehe.
Dulu, aku semacam punya dua sikap. Di depan Papa Mama aku pendiam dan di sekolah aku cerewet. Aku seneng banget ngomong dan ngelucu sih dari dulu. Seneng banget bisa bikin temen-temen ketawa seakan mereka nyaman di dekatku. Cuma yang jadi masalah, giliran disuruh tampil, aku selalu enggak pedean. Iya, semacam jago kandang lah istilahnya.
Terbukti juga waktu SMA aku sempet jadi anak yang minderan habis. Mana Papa makin menunjukkan sikap dingin dan membatasiku bermain. Aku jarang banget diperbolehkan main sampai sore, main ke rumah temen, bahkan ngeband. Padahal aku beberapa kali diajak ngeband dan bikin panggung teater di sekolah. Mau nolak, kok dalam hati seneng, jadi ya aku terima dengan catatan, enggak bilang-bilang sama Papa Mama.
Setelahnya, aku mulai menemukan ketertarikan di bidang kesenian. Aku sampai ngelatih ngomong depan cermin loh, beneran. Kalau sebelumnya cuma berani karaoke di rumah, aku berubah jadi percaya diri nyanyi dari panggung ke panggung. Papa kayaknya mulai mencium gelagatku ngeband, beberapa kali aku manggung dan ngakunya pergi ke rumah eyang. Aku sempet sih izin mau manggung di pensi sekolah malam-malam. Aku nyuruh Papa antar jemput biar Papa tahu. And you know what, wajah Papa asem banget kayak pengen marah sama kelakuanku. Intinya, diam salah, ngomong ya makin salah.
Setelah itu aku dilarang lagi dan aku memutuskan out dari anak band. Biar deh, stress ya strees, asal di rumah kok beneran kayak neraka. Sekalian, karena enggak ada pilihan yang benar untuk Papa. Aku manut saja daripada kenapa-kenapa.
Eeeeh kejadian selanjutnya adalah, di kampung sering bikin acara. Mulai dari pecinta alam, kumpulan remaja, sampai bikin panggung hiburan untuk acara tujuhbelasan. Itu pecinta alamnya yang bikin termasuk Papa Mama loh, dan aku disuruh ikutan. Katanya biar aku enggak minderan. Terus pas acara tujuhbelasan aku juga disuruh tampil, katanya biar aku enggak di rumah terus.
Oh hell, perasaan aku habis dibanting kenapa aku didorong buat tampil lagi. Bukannya sebelumnya aku sudah berusaha buat melatih kepercayadirianku, ketika aku sudah give up karena aturan orang tua, kenapa aku didorong lagi? Untuk apa? Aku bahkan lalu merasa enggak nyaman. Semacam pemaksaan. Karena kan aku di kampung juga enggak kenal-kenal amat sama remajanya. Ya gimana dari dulu memang jarang keluar rumah kok.
Percaya deh, masa SMA yang katanya masa paling indah, buat aku adalah masa paling bikin begah. Aku enggak menemukan jati diriku yang sebenarnya.
Beralih ke masa kuliah deh. Memasuki masa kuliah, aku juga sempat bentrok sama Papa. Aku ngotot masuk ke Institut Seni Indonesia karena aku melihat potensi. Enggak mungkin deh, aku milih jurusan yang aku enggak suka. Misal dipaksa nih, ambil jurusan ekonomi management, atau apa sih yang mainstream? Nah itu aku enggak suka. Beruntung aku didorong oleh eyang, om, dan tante. Papa jadi agak lembek dan memberiku syarat: kalau aku enggak diterima di ISI dan kamu enggak bisa kuliah di negeri, kamu kuliah di Magelang.
Aku jawab tantangannya dan aku berhasil masuk ISI.
Kalian tahu enggak rasanya keluar dari penjara? Mungkin ibaratnya gitu, aku begitu keluar dari rumah, waaah aku seperti menemukan diriku sendiri. Rasanya plooong!!! Aku lebih semangat. Waktu kuliah aku diberi banyak kepercayaan oleh orang-orang sekitar dan AKU DIDENGARKAN.
Terharu! Setelah itu aku jadi pribadi yang cukup percaya diri, berani ngomong, dan ngasih pendapat. Akhirnya, sampai kerja aku makin terbiasa ngomong di depan orang banyak. Dan itu melalui proses yang sangat panjang.
Aku sadar banget, beberapa poin mendidik anak yang orang tuaku terapkan itu salah. Wong aku anaknya seneng bersosialisasi kok disuruh diem, ya mana bisa. Kalau misal mau membatasi biar enggak salah pergaulan ya harus diarahkan, jangan semata-mata melarang. Untungnya aku cukup bisa menahan diri, enggak tahu deh kalau yang sifatnya mudah meledak karena saking memendam emosi.
Jadi melihat pengalamanku tersebut, dalam mendidik Alya, sampai saat ini aku enggak memprioritaskan dia menjadi anak yang penurut. Aku enggak mau memaksakan ego untuk membuat aturan sendiri. Buat apa menyuruh anak supaya nurut terus? Buat mengekang dan memberinya batasan? Kalau iya, batasannya sampai mana? Dan apa gunanya? Misal dia ngga betah lalu membangkang aturan yang kita buat gimana?
Ini nih semacam polemik loh kalau dipikir-pikir, di sisi lain, aku juga was-was karena Alya sudah kelihatan bakat keras kepalanya. Tapi... dari hasil yang aku baca, hampir semua anak itu ternyata punya fase ngeyel dan itu normal. Yang jadi masalah adalah bisakah kita melakukan treatment dengan tepat supaya ngeyelan itu berubah menjadi anak yang pandai memutuskan sesuatu?
Sifat Alya itu cukup aktif dan ekspresif. Dia bisa marah sampai teriak-teriak tapi juga bisa ketawa sampai ngakak. Sebenernya punya bakat percaya diri, persis kayak aku kecil. Makanya aku harus punya cara yang tepat biar emosinya terkontrol. Karena sesuatu yang dipendem tuh enggak enak banget loh.
Aku usahakan selalu jaga komunikasi dua arah sama Alya. Aku harus memberinya arahan, tapi juga bisa mendengarkan apa yang ingin dia ungkapkan. Kalau mau bikin aturan, itu harus sesuai dengan kesepakatan. Prinsipnya, aku nawarin aturan, dia mengiyakan.
Contoh yang paling simple begini, Alya tiap pagi harus bangun pagi, lalu mandi, makan, terus sekolah. Nanti siang bobok, sore main lagi. Karena dengan kedisplinan, Alya bakal lebih enak moodnya dan punya ritme sendiri. Aku juga menjelaskan ke Alya, kenapa harus mandi, kenapa harus tidur siang, dan malam juga punya jadwalnya. Sebelum ada drama enggak mau mandi, enggak mau tidur siang, bla bla bla, aku sudah bikin kesepakatan duluan, jadi meminimalisir drama. Ya paling nanti kalau melanggar, ada hukumannya.
Alya ini kalau sudah disounding lama dan menurutnya masuk akal, dia manut kok. Dia sendiri juga sadar kalau enggak tidur siang badannya capek. Dia juga suka kalau bajunya bagus, pakai wangi-wangian, dan kelihatan cantik. Jadi gimana biar harum dan cantik? Ya rajin mandi biar kumannya hilang, badan jadi segar.
Ketimbang aku nyuruh Alya menjadi anak yang penurut, aku lebih ingin mendidik dia sebagai anak yang kooperatif. Anak yang penurut nantinya bisa cenderung enggak kreatif juga kan? Dia nunggu disuruh terus. Sedangkan anak yang kooperatif, lebih mengutamakan kerja sama.
Mungkin ada beberapa kalian yang ngebatin gini "kalau aku nyuruh dia ngambilin sesuatu dan dia enggak mau gimana?" Nah, ini aku dulu juga ngerasa Alya nih susah banget disuruh. Padahal dia ini sering nyuruh Mamanya ngambil-ngambilin yang dia mau. Kalau aku solusinya begini, aku usahakan nyuruh Alya itu bener-bener pas aku membutuhkan. Kalau lagi masak dan aku lihat anaknya lagi enggak ngapa-ngapain, ya aku ajak. Pelan-pelan aku minta tolong untuk ngambilin barang-barang di kulkas sambil menghafal nama dan bentuknya. Ini semacam belajar juga sih. Jadi, Alya malah seneng. Cuma kalau pas Alya lagi enggak mood dan dia pengen main, terus aku suruh tiba-tiba, ya lebih sering enggak mau.
Intinya adalah kerjasama sih. Kalau anak dilibatkan dalam suatu kegiatan, pasti dia mau turut andil melakukan sesuatu. Aku berusaha banget biar hubungan baik ini terjaga dulu, jadi Alya juga betah di rumah dan ngerasa kalau Mama Papanya terbuka.
Buat yang mungkin bingung, sebaiknya aku rekap saja ya hehe. Ini dia formulanya:
1. Ciptakan suasana yang asik di rumah.
Mood orang tua juga yang utama, karena pengaruhnya pada anak juga sih. Misal kita mau memerintah, ya nadanya kudu sopan dan pelan. Ini anak bisa nyontoh loh. Perhatikan kata "Minta tolong ya nak".
Buatku sendiri cukup efektif kok. Kalau mood ku bagus otomatis momong Alya juga fun. Lain kalau lagi stress, nadanya saja mungkin sudah enggak enak didengar. Ya kan hehe.
2. Ajak dia berkomunikasi dua arah.
Sebagai orang tua, kita sering lupa kalau anak juga butuh didengarkan. Kita bisa memberikan arahan tapi jangan sampai lupa dengarkan apa pendapatnya. Ini melatih anak supaya bisa kritis dan tidak diam begitu saja jika ada masalah yang menimpanya. Sependek pengalaman yang aku ceritakan tadi, semua yang dipendam itu bikin kita stress sendiri dan bisa menimbulkan sikap yang diluar akal sehat.
3. Mengekang berbeda dengan memberinya petunjuk.
Jangan pernah memaksa, pastikan semua merasa nyaman. Proses itu pelan-pelan, jadi butuh kesabaran. Kunci utamanya adalah berikan dia kebebasan memilih dan bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya.
Aku yakin sejak kecil bisa kok ditanamkan sikap ini. Jangan terus dimanja, dibebasin ngapa-ngapain, terus semua dibenarkan tapi ya. Kalau ingin semua baik-baik saja, ya kita kudu berpikir yang baik-baik, begitu. Hehehe.
4. Bikin kesepakatan.
Sebelum memberikan aturan, biasanya aku kasih cerita dulu nih. Contohnya, "kemarin Alya kan makan permen, terus giginya sakit, terus ditambal. Enak enggak giginya sakit?" Disini Alya sudah nyantol kan, nah baru deh aku kasih pilihan "Kamu enggak makan permen dan enggak sakit gigi, atau makan permen tapi sakit gigi?"
Ya sudah deh, pasti jawabannya ya enggak makan permen kan. Hehehe. Dalam memberikannya pilihan, aku memang kayak berpikir keras dulu karena pilihannya biasanya menyudutkan. Alias aku sudah tahu Alya bakal memilih yang aku juga pilih. Jadi aku memberikan pilihan itu ya yang masuk akal. Otoritas masih dipegang orang tua ya, sebisa mungkin kitanya harus bijak memberlakukan aturan bersama.
Oiya, aku juga memberlakukan sistem reward and punishment. Enggak perlu yang serem-serem kok. Misalnya Alya enggak taat aturan yang sudah dibuat, punishmentnya bisa berupa tidur sendiri, mandi pakai air dingin, atau enggak boleh nonton TV.
5. Kenali bakatnya.
Terakhir tapi penting ya. Ini berguna sekali biar kita memberlakukan sistem yang kondisional. Enggak mungkin juga menuntut anaknya harus bisa bersosialisasi padahal dia enggak nyaman. Jadi harus bener-bener dikenali dulu karakternya, bikin supaya dia merasa aman.
Selama ini Alya suka main di luar, aku sih seneng-seneng saja karena di komplek memang temen sebayanya banyak. Yang penting akur, baik, dan saling berbagi enggak ada problem lah ya. Cuma kalau lagi capek karena dia kan asma ya, jadi dia sering pulang dan ngeluh kecapekan gitu. Sementara kalau di rumah terus ya dia bingung.
Aku jadi memberinya kebebasan, aku wanti-wanti supaya kalau nanti capek, kamu pulang saja. Nanti main yang pinter, yang baik sama temennya, kalau ada yang nakal cuekin. Sounding gini ngaruh banget deh buat Alya. Yang dulunya sering ngak ngek sekarang sudah lumayan berubah.
***
Paham kok, teorinya memang seolah gampang, tapi prakteknya susah. Hehehe. Ya gimana ya, sudah tanggung jawab kita memilih punya anak ya kan ya? Yang penting, sebagai orang tua, kita punya niat yang terbaik untuk anak kita. Jangan sampai sudah punya anak kok lalai akan kewajiban.
Tahun depan Alya sudah 4 tahun, kerasa banget bowk, siapa bilang enggak kerasa hehehe. Lagian sudah aku tulis di blog terus fase-fasenya. Aku bisa lebih aware dan sigap misal ada pertanda fase baru dimulai. Di golden age ini, aku pengen dong dia bener-bener deket dulu sama Mama Papanya. Alhamdulillah selama ini aman ya, dia sudah merasa nyaman. Semoga ke depannya dia makin bisa memilih apa yang ingin ditekuninya. Semoga dia bisa menjadi anak yang bertanggungjawab atas apa yang dipilihnya. Semoga dia bisa menjadi anak yang bermanfaat dan menebar kebaikan.
Tugas Mama Papa belum selesai, masih banyak yang harus diperjuangkan. Oke ya buibuk di luar sana, semangat! Kalau ada yang bikin statement "anak itu harus jadi anak yang penurut", satu-satunya yang bisa aku jawab ya "anak penurut yang gimana?"
:)
Jadi, masa kecilku termasuk yang suram. Pergaulanku di sekolah dan di rumah dibatasin. Aku hanya boleh main pas siang, itupun karena siang aku ke rumah eyang. Di kampung eyanglah aku punya beberapa teman, kalau di kampungku sendiri beneran blas kayak enggak kenal siapa-siapa.
Aku bener-bener takut sama Papa. Aku tuh selalu memendam apa yang ingin aku katakan. Jika ada yang bilang sikap ngeyelan ini ada hubungannya sama sikap percaya diri, itu beneran aku alami. Aku bahkan enggak tahu celah buat ngasih argumenku dan ngasih kepercayaan ke Papa kalau aku itu benar. Serem sih kalau inget. Tapi sekarang jadi geli sendiri, justru aku yang balik menilai, kalau Papa ini hanya mau didengerin, sampai lupa anaknya mau ngomong apa. Hehehe.
Dulu, aku semacam punya dua sikap. Di depan Papa Mama aku pendiam dan di sekolah aku cerewet. Aku seneng banget ngomong dan ngelucu sih dari dulu. Seneng banget bisa bikin temen-temen ketawa seakan mereka nyaman di dekatku. Cuma yang jadi masalah, giliran disuruh tampil, aku selalu enggak pedean. Iya, semacam jago kandang lah istilahnya.
Terbukti juga waktu SMA aku sempet jadi anak yang minderan habis. Mana Papa makin menunjukkan sikap dingin dan membatasiku bermain. Aku jarang banget diperbolehkan main sampai sore, main ke rumah temen, bahkan ngeband. Padahal aku beberapa kali diajak ngeband dan bikin panggung teater di sekolah. Mau nolak, kok dalam hati seneng, jadi ya aku terima dengan catatan, enggak bilang-bilang sama Papa Mama.
Setelahnya, aku mulai menemukan ketertarikan di bidang kesenian. Aku sampai ngelatih ngomong depan cermin loh, beneran. Kalau sebelumnya cuma berani karaoke di rumah, aku berubah jadi percaya diri nyanyi dari panggung ke panggung. Papa kayaknya mulai mencium gelagatku ngeband, beberapa kali aku manggung dan ngakunya pergi ke rumah eyang. Aku sempet sih izin mau manggung di pensi sekolah malam-malam. Aku nyuruh Papa antar jemput biar Papa tahu. And you know what, wajah Papa asem banget kayak pengen marah sama kelakuanku. Intinya, diam salah, ngomong ya makin salah.
Setelah itu aku dilarang lagi dan aku memutuskan out dari anak band. Biar deh, stress ya strees, asal di rumah kok beneran kayak neraka. Sekalian, karena enggak ada pilihan yang benar untuk Papa. Aku manut saja daripada kenapa-kenapa.
Eeeeh kejadian selanjutnya adalah, di kampung sering bikin acara. Mulai dari pecinta alam, kumpulan remaja, sampai bikin panggung hiburan untuk acara tujuhbelasan. Itu pecinta alamnya yang bikin termasuk Papa Mama loh, dan aku disuruh ikutan. Katanya biar aku enggak minderan. Terus pas acara tujuhbelasan aku juga disuruh tampil, katanya biar aku enggak di rumah terus.
Oh hell, perasaan aku habis dibanting kenapa aku didorong buat tampil lagi. Bukannya sebelumnya aku sudah berusaha buat melatih kepercayadirianku, ketika aku sudah give up karena aturan orang tua, kenapa aku didorong lagi? Untuk apa? Aku bahkan lalu merasa enggak nyaman. Semacam pemaksaan. Karena kan aku di kampung juga enggak kenal-kenal amat sama remajanya. Ya gimana dari dulu memang jarang keluar rumah kok.
Percaya deh, masa SMA yang katanya masa paling indah, buat aku adalah masa paling bikin begah. Aku enggak menemukan jati diriku yang sebenarnya.
Beralih ke masa kuliah deh. Memasuki masa kuliah, aku juga sempat bentrok sama Papa. Aku ngotot masuk ke Institut Seni Indonesia karena aku melihat potensi. Enggak mungkin deh, aku milih jurusan yang aku enggak suka. Misal dipaksa nih, ambil jurusan ekonomi management, atau apa sih yang mainstream? Nah itu aku enggak suka. Beruntung aku didorong oleh eyang, om, dan tante. Papa jadi agak lembek dan memberiku syarat: kalau aku enggak diterima di ISI dan kamu enggak bisa kuliah di negeri, kamu kuliah di Magelang.
Aku jawab tantangannya dan aku berhasil masuk ISI.
Kalian tahu enggak rasanya keluar dari penjara? Mungkin ibaratnya gitu, aku begitu keluar dari rumah, waaah aku seperti menemukan diriku sendiri. Rasanya plooong!!! Aku lebih semangat. Waktu kuliah aku diberi banyak kepercayaan oleh orang-orang sekitar dan AKU DIDENGARKAN.
Terharu! Setelah itu aku jadi pribadi yang cukup percaya diri, berani ngomong, dan ngasih pendapat. Akhirnya, sampai kerja aku makin terbiasa ngomong di depan orang banyak. Dan itu melalui proses yang sangat panjang.
Aku sadar banget, beberapa poin mendidik anak yang orang tuaku terapkan itu salah. Wong aku anaknya seneng bersosialisasi kok disuruh diem, ya mana bisa. Kalau misal mau membatasi biar enggak salah pergaulan ya harus diarahkan, jangan semata-mata melarang. Untungnya aku cukup bisa menahan diri, enggak tahu deh kalau yang sifatnya mudah meledak karena saking memendam emosi.
Jadi melihat pengalamanku tersebut, dalam mendidik Alya, sampai saat ini aku enggak memprioritaskan dia menjadi anak yang penurut. Aku enggak mau memaksakan ego untuk membuat aturan sendiri. Buat apa menyuruh anak supaya nurut terus? Buat mengekang dan memberinya batasan? Kalau iya, batasannya sampai mana? Dan apa gunanya? Misal dia ngga betah lalu membangkang aturan yang kita buat gimana?
Ini nih semacam polemik loh kalau dipikir-pikir, di sisi lain, aku juga was-was karena Alya sudah kelihatan bakat keras kepalanya. Tapi... dari hasil yang aku baca, hampir semua anak itu ternyata punya fase ngeyel dan itu normal. Yang jadi masalah adalah bisakah kita melakukan treatment dengan tepat supaya ngeyelan itu berubah menjadi anak yang pandai memutuskan sesuatu?
Sifat Alya itu cukup aktif dan ekspresif. Dia bisa marah sampai teriak-teriak tapi juga bisa ketawa sampai ngakak. Sebenernya punya bakat percaya diri, persis kayak aku kecil. Makanya aku harus punya cara yang tepat biar emosinya terkontrol. Karena sesuatu yang dipendem tuh enggak enak banget loh.
Aku usahakan selalu jaga komunikasi dua arah sama Alya. Aku harus memberinya arahan, tapi juga bisa mendengarkan apa yang ingin dia ungkapkan. Kalau mau bikin aturan, itu harus sesuai dengan kesepakatan. Prinsipnya, aku nawarin aturan, dia mengiyakan.
Contoh yang paling simple begini, Alya tiap pagi harus bangun pagi, lalu mandi, makan, terus sekolah. Nanti siang bobok, sore main lagi. Karena dengan kedisplinan, Alya bakal lebih enak moodnya dan punya ritme sendiri. Aku juga menjelaskan ke Alya, kenapa harus mandi, kenapa harus tidur siang, dan malam juga punya jadwalnya. Sebelum ada drama enggak mau mandi, enggak mau tidur siang, bla bla bla, aku sudah bikin kesepakatan duluan, jadi meminimalisir drama. Ya paling nanti kalau melanggar, ada hukumannya.
Alya ini kalau sudah disounding lama dan menurutnya masuk akal, dia manut kok. Dia sendiri juga sadar kalau enggak tidur siang badannya capek. Dia juga suka kalau bajunya bagus, pakai wangi-wangian, dan kelihatan cantik. Jadi gimana biar harum dan cantik? Ya rajin mandi biar kumannya hilang, badan jadi segar.
Ketimbang aku nyuruh Alya menjadi anak yang penurut, aku lebih ingin mendidik dia sebagai anak yang kooperatif. Anak yang penurut nantinya bisa cenderung enggak kreatif juga kan? Dia nunggu disuruh terus. Sedangkan anak yang kooperatif, lebih mengutamakan kerja sama.
Mungkin ada beberapa kalian yang ngebatin gini "kalau aku nyuruh dia ngambilin sesuatu dan dia enggak mau gimana?" Nah, ini aku dulu juga ngerasa Alya nih susah banget disuruh. Padahal dia ini sering nyuruh Mamanya ngambil-ngambilin yang dia mau. Kalau aku solusinya begini, aku usahakan nyuruh Alya itu bener-bener pas aku membutuhkan. Kalau lagi masak dan aku lihat anaknya lagi enggak ngapa-ngapain, ya aku ajak. Pelan-pelan aku minta tolong untuk ngambilin barang-barang di kulkas sambil menghafal nama dan bentuknya. Ini semacam belajar juga sih. Jadi, Alya malah seneng. Cuma kalau pas Alya lagi enggak mood dan dia pengen main, terus aku suruh tiba-tiba, ya lebih sering enggak mau.
Intinya adalah kerjasama sih. Kalau anak dilibatkan dalam suatu kegiatan, pasti dia mau turut andil melakukan sesuatu. Aku berusaha banget biar hubungan baik ini terjaga dulu, jadi Alya juga betah di rumah dan ngerasa kalau Mama Papanya terbuka.
Buat yang mungkin bingung, sebaiknya aku rekap saja ya hehe. Ini dia formulanya:
1. Ciptakan suasana yang asik di rumah.
Mood orang tua juga yang utama, karena pengaruhnya pada anak juga sih. Misal kita mau memerintah, ya nadanya kudu sopan dan pelan. Ini anak bisa nyontoh loh. Perhatikan kata "Minta tolong ya nak".
Buatku sendiri cukup efektif kok. Kalau mood ku bagus otomatis momong Alya juga fun. Lain kalau lagi stress, nadanya saja mungkin sudah enggak enak didengar. Ya kan hehe.
2. Ajak dia berkomunikasi dua arah.
Sebagai orang tua, kita sering lupa kalau anak juga butuh didengarkan. Kita bisa memberikan arahan tapi jangan sampai lupa dengarkan apa pendapatnya. Ini melatih anak supaya bisa kritis dan tidak diam begitu saja jika ada masalah yang menimpanya. Sependek pengalaman yang aku ceritakan tadi, semua yang dipendam itu bikin kita stress sendiri dan bisa menimbulkan sikap yang diluar akal sehat.
3. Mengekang berbeda dengan memberinya petunjuk.
Jangan pernah memaksa, pastikan semua merasa nyaman. Proses itu pelan-pelan, jadi butuh kesabaran. Kunci utamanya adalah berikan dia kebebasan memilih dan bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya.
Aku yakin sejak kecil bisa kok ditanamkan sikap ini. Jangan terus dimanja, dibebasin ngapa-ngapain, terus semua dibenarkan tapi ya. Kalau ingin semua baik-baik saja, ya kita kudu berpikir yang baik-baik, begitu. Hehehe.
4. Bikin kesepakatan.
Sebelum memberikan aturan, biasanya aku kasih cerita dulu nih. Contohnya, "kemarin Alya kan makan permen, terus giginya sakit, terus ditambal. Enak enggak giginya sakit?" Disini Alya sudah nyantol kan, nah baru deh aku kasih pilihan "Kamu enggak makan permen dan enggak sakit gigi, atau makan permen tapi sakit gigi?"
Ya sudah deh, pasti jawabannya ya enggak makan permen kan. Hehehe. Dalam memberikannya pilihan, aku memang kayak berpikir keras dulu karena pilihannya biasanya menyudutkan. Alias aku sudah tahu Alya bakal memilih yang aku juga pilih. Jadi aku memberikan pilihan itu ya yang masuk akal. Otoritas masih dipegang orang tua ya, sebisa mungkin kitanya harus bijak memberlakukan aturan bersama.
Oiya, aku juga memberlakukan sistem reward and punishment. Enggak perlu yang serem-serem kok. Misalnya Alya enggak taat aturan yang sudah dibuat, punishmentnya bisa berupa tidur sendiri, mandi pakai air dingin, atau enggak boleh nonton TV.
5. Kenali bakatnya.
Terakhir tapi penting ya. Ini berguna sekali biar kita memberlakukan sistem yang kondisional. Enggak mungkin juga menuntut anaknya harus bisa bersosialisasi padahal dia enggak nyaman. Jadi harus bener-bener dikenali dulu karakternya, bikin supaya dia merasa aman.
Selama ini Alya suka main di luar, aku sih seneng-seneng saja karena di komplek memang temen sebayanya banyak. Yang penting akur, baik, dan saling berbagi enggak ada problem lah ya. Cuma kalau lagi capek karena dia kan asma ya, jadi dia sering pulang dan ngeluh kecapekan gitu. Sementara kalau di rumah terus ya dia bingung.
Aku jadi memberinya kebebasan, aku wanti-wanti supaya kalau nanti capek, kamu pulang saja. Nanti main yang pinter, yang baik sama temennya, kalau ada yang nakal cuekin. Sounding gini ngaruh banget deh buat Alya. Yang dulunya sering ngak ngek sekarang sudah lumayan berubah.
***
Paham kok, teorinya memang seolah gampang, tapi prakteknya susah. Hehehe. Ya gimana ya, sudah tanggung jawab kita memilih punya anak ya kan ya? Yang penting, sebagai orang tua, kita punya niat yang terbaik untuk anak kita. Jangan sampai sudah punya anak kok lalai akan kewajiban.
Tahun depan Alya sudah 4 tahun, kerasa banget bowk, siapa bilang enggak kerasa hehehe. Lagian sudah aku tulis di blog terus fase-fasenya. Aku bisa lebih aware dan sigap misal ada pertanda fase baru dimulai. Di golden age ini, aku pengen dong dia bener-bener deket dulu sama Mama Papanya. Alhamdulillah selama ini aman ya, dia sudah merasa nyaman. Semoga ke depannya dia makin bisa memilih apa yang ingin ditekuninya. Semoga dia bisa menjadi anak yang bertanggungjawab atas apa yang dipilihnya. Semoga dia bisa menjadi anak yang bermanfaat dan menebar kebaikan.
Tugas Mama Papa belum selesai, masih banyak yang harus diperjuangkan. Oke ya buibuk di luar sana, semangat! Kalau ada yang bikin statement "anak itu harus jadi anak yang penurut", satu-satunya yang bisa aku jawab ya "anak penurut yang gimana?"
:)
2 komentar
Hai mb, anaku jg tahun depan masuk 4 th, dan bbrapa waktu lalu jg, sy bru kali itu bilang " coba nurut klo dibilangin "..duh bener sih hal kyk gt takutnya bikin anak krg kreatif. Jgn dibiasain lagi deh..:(
ReplyDeleteWah seumuran sama alya ya mbak. iya, kadang kita kan nyuruh tanpa alasan jelas, aku juga sama kok mbak. lama-lama ngerti dan paham anak itu kudu jangan terlalu didikte. dia harus kita ajak kerjasama :)
Delete