Dibanding dengan rumah lain di kampung, rumahku lumayan besar dan tingkat, tapi sayang, kadang tidak nyaman buat berteduh sekalipun. Setiap hari, kaki kecil ini berlari dari lorong ke lorong perkampungan kumuh. Sambil tertawa riang, sambil membawa baju ganti, dan sambil berpikiran ketemu teman-teman.
Tidak hendak kemana-mana, cuma mau ke rumah Buk'e saja. Buk'e itu sebenarnya adalah Nenekku. Ibu dari Mamaku. Semua cucu terbiasa memanggil Buk'e karena ikut-ikutan orang tuanya. Lama-lama Buk'e jadi lebih klop di telinga ketimbang memanggilnya dengan sebutan Eyang. Lagian, Buk'e sendiri juga tidak mau dipanggil Eyang, simply, karena dia merasa masih muda. Salah kaprah yang dimaklumi oleh keluarga kami.
Saking kerapnya ke rumah Buk'e, bagiku tempat Buk'e jauh lebih nyaman walaupun ada di lompetan. Bagiku rumah Buk'e jauh lebih tenang walaupun berantakan. Dan yang lebih penting, di rumah Buk'e, aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa dibatasi.
Jarak rumah Buk'e dengan orang tua cuma beberapa meter saja. Beda kampung doang. Sayangnya, di rumah sendiri, aku merasa terbebani. Apa-apa tidak diperbolehkan, apa-apa harus dibatasin, dan apapun yang aku lakukan adalah kesalahan. Di rumah kalau siang, aku tinggal bertiga, sama adik dan Papa, sedangkan Mama kerja kantoran.
Adikku lebih nurut dan diam, tidak bisa memberontak seperti yang embaknya lakukan. Tapi bukankah setiap anak itu unik dan punya kesenangannya? Mana di rumah aku tidak punya teman pula. Rumahku terkunci rapat-rapat karena orang tua ku takut aku ikutan nakal seperti anak-anak di kampung.
Masalahnya, di rumahpun aku enggak leluasa beraktivitas seperti anak-anak lainnya. Aku melulu disuruh baca buku, bermain seadanya, bercanda dengan adik, lalu melihat teman-teman dibatas jendela. Aku berbeda, aku ingin keluar dari rumah dan bercanda tawa dengan teman-teman sebaya.
Tapi semua sudah terlanjur dibatasin, sampai aku bingung mau bermain apa? Gimanapun juga, aku dari dulu merasa, aku tidak akan pernah cocok sama Papa Mama. Semua sama, sama kolotnya.
Baca juga: Berdamai Dengan Diri Sendiri
Berbeda ketika aku sama Buk'e. Aku diperbolehkan bermain di luar selayaknya anak seumuranku di sana. Bebas main jam berapa saja, asal aku tidur siang, dan tetap makan. Kala sore aku mengaji, menunggu malam buat pulang ke rumah lagi. Lebih-lebih malam minggu, aku lebih leluasa lagi, aku tidur di rumah Buk'e dan boleh tidur malam jam berapapun aku mau.
Masa muda Buk'e adalah penyanyi keroncong, suaranya bagus, dan terkenal sampai mana-mana. Anak-anaknya banyak yang meneruskan menjadi musisi. Maka jangan heran, kalau keluarga kami berkumpul biasa bernyanyi. Yang aku ingat, Buk'e membebaskan pilihan namun juga tegas dalam mendidik anak.
Waktu aku SD, Buk'e belum pensiun dari dinas sipil, jadi pulang kantornya siang. Kadang bersamaan dengan aku pulang sekolah, atau aku yang harus sabar menunggu sambil tidur di rumah. Aku senang ketika Buk'e sudah datang, rasanya aku tidak sabar untuk bertemu teman-temanku di kampung sebelah. Puas main petak umpet, main pasir, makan bakso goreng, nonton TV di rumah temen, semua terasa sangat menyenangkan.
Sialnya, Papa kadang tidak memperbolehkan aku ke rumah Buk'e, misalnya waktu test tiba. Alih-alih bisa belajar, bisa tenang, yang ada aku malah makin tertekan. Aku tidak suka berada di rumah, rumah sama saja seperti penjara.
Hubunganku sama Papa belum pernah menyenangkan seperti halnya para orang tua lain yang dekat dan senang bercanda. Aku hafal betul tabiat Papa kalau raport sudah tiba. Mau berapapun nilai ulanganku, aku pasti disuruh duduk merunduk di depannya setelah pembagian raport selesai. Aku selalu disalahkan dan dituntut supaya bisa membuktikan bahwa aku bisa. Aku harus rangking di kelas. Aku harus nurut. Aku harus pintar matematika. Aku harus jadi kebanggaan keluarga.
Beda di rumah, beda di tempat Buk'e. Aku bisa saja di rumah pendiam, tapi di tempat Buk'e aku merasa pada tempatnya bisa bebas berekspresi.
Tapi lama-lama aku tidak bisa menyembunyikan lagi kegundahanku. Aku mulai memberontak, menunjukkan apa yang selama ini aku pendam. Aku tidak bisa tinggal diam, aku berusaha bilang kalau aku juga punya pilihan. Hubunganku sama Papa kian hari kian panas, di sisi lain aku ingin bebas, di sisi lain aku butuh materi biar bisa berdiri.
Buk'e lah yang selalu jadi penengah. Membelaku mati-matian. Mendorongku agar tetap kuat dan bertahan. Buk'e lah yang sudi mengarahkanku menjadi apa yang aku mau.
Buk'e selalu memperhatikan hal-hal kecil. Seperti, mau memijitiku ketika aku kesleo, memberikanku skincare buat jerawat, sampai mendengarkanku curhatan tentang percintaan. Buk'e lah yang tahu semua tentangku.
Dari mana aku bisa berenang? Ya karena Buk'e yang ngotot supaya aku bisa les renang.
Dari mana aku bisa opname di rumah sakit karena ternyata demam berdarah? Ya karena Buk'e yang panik badanku demam tinggi. Badanku lemas tak berdaya. Dan orang tuaku hanya perhatian sebatas memberi obat saja.
Dari mana aku bisa kuliah di Universitas incaranku sendiri? Ya karena Buk'e yang sampai hati berani melawan pilihan Papa. Buk'e lah yang mendorongku kuat agar bisa kekeuh dengan pendirianku. Agar aku bertanggungjawab dengan pilihanku.
Semua karena Buk'e.
Ingatan ini terus menerus ada di otakku sampai hari ini. Hari ini dimana aku sedang mengetik rapi dan menjadi seorang penulis naskah di berbagai film dan televisi. Aku tidak pernah bisa berdamai dengan Papa, namun yang harus aku lakukan adalah berdamai dengan keadaan.
Ketika Papa Mama berpisah, Buk'e juga bisa menjadi penengah. Memberi Papa petuah bahwa dari dulu banyak yang harus dibenahi. Buk'e juga tidak serta merta memihak Mama. Buk'e berusaha memberikan Mama petunjuk tapi tidak membatasi pilihan Mama.
Sekarang Papa Mama mungkin telah rapuh, masing-masing timpang dan tidak kuat seperti dulu lagi. Buk'e menyadarkanku bahwa apa yang mereka pilih adalah yang terbaik bagi mereka. Kita boleh berandai-andai, tapi belum tentu kalau mereka bersama justru akan lebih baik lagi.
Buk'e sampai hari ini masih akan selalu aku rindui. Setiap aku ke rumahnya, pasti dimasakkan makanan kesukaanku. Setiap aku kesana, aku selalu dipijitin, dan ditanyain macam-macam. Rasanya aku bakalan selalu jadi anak kecil ketika di hadapan Buk'e. Buk'e...Buk'e..Buk'e selalu ada dalam cerita masa kecil. Kepada siapapun aku bercerita, ada nama Buk'e yang selalu aku puja.
Semoga Buk'e sehat terus dan apa yang dicita cintakan di masa tuanya terwujud. Satu pelajaran yang bisa aku petik di sini, bahwa menjadi diri sendiri lebih penting untuk mengerti apa tujuan hidup ini. Barang kali kalau bukan Buk'e yang mendorongku, mungkin sekarang aku bukan siapa-siapa dan tidak menemukan kebahagiaan yang sebenar-benarnya.
#BloggerPerempuan
#BPN30dayChallenge2018
#day 25
0 komentar