IT'S ALL ABOUT YOU
Seandainya hidup boleh banyakin ngeluh, bakalan ada satu hal yang kusebut terus tuh, apalagi kalau bukan: "kenapa sih orang-orang pada susah diajak kerjasama?" Kerjasama dalam artian, kerja yang harus diselesaikan sama-sama. Kalau misal satu miss, satu enggak bisa back up, satu baperan, satu lupaan, harusnya bisa saling melengkapi. Bagaimana caranya masalah terselesaikan bersama, kalau enggak ya, ambyar semua. Eits, jangan heran dulu, kerjaanku selalu ada hubungannya sama team work. Mau itu cari duit, gabung di komunitas, atau... bertetangga.
Well yeah, kerjasama itu kadang asyik, kadang juga kayak makanan manis yang terus-terusan dimakan: ENEG.
Well yeah, kerjasama itu kadang asyik, kadang juga kayak makanan manis yang terus-terusan dimakan: ENEG.
Kerja sebagai seorang -yang hampir diakui sebagai- filmmaker, bukan cuma kudu meluangkan ekstra waktu, tenaga, dan pikiran. Mana ada bikin film dibikin sendiri semua-muanya? Pastilah melibatkan orang lain juga. Seperti kameramen, editor, talent, sampai gimana caranya biar ditonton khayalak ramai. Wow kosakataku sangat managemen produksi banget.
Sekarang, kebanyakan kerjaanku berkutat pada naskah, dengan nama jabatan scriptwriter. Oke, sebagian orang akan berpendapat, misal aku dapat project, hanya menulis naskah, lengkap dengan treatment sama sinopsisnya. Nanti ada batasan revisi, selebihnya bisa kena charge sesuai pengalaman masing-masing. Sound like easy memang.
Tapi pada kenyataannya, boro-boro aku hanya nulis naskah, bayaran gampang cair, atau ide ngalir. Yang ada nih ya, beberapa kali aku setor ide, kasih pilihan enggak cuma satu dua, bikin presentasi, deal, dan kreatifnya tetep enggak dibayar. Yang dibayar cuma naskahnya. Enggak usah mikir bayaran wes, namaku tetep jadi scriptwriter loh, bukan pakai embel-embel kreatif, yang sebenernya justru bisa diletakkan di credit title paling atas. Alias semua hasil kerja kerasku enggak diakui plus enggak dibayar.
Mau komplain, tapi sayang, klien model ginian tuh rata! Mungkin ada yang enak, yang bisa open sama kita, yang menghargai kerja keras, cuma ya belum ketemu saja.
So, how to deal with it?
Kalau kamu masih butuh, jelas kamu harus sabar dan lakukan apa yang kamu bisa. Beneran deh, enggak ada yang namanya pikir pendek, apalagi kalau urusannya sama penghasilan utama. Wah wah, bisa berabe urusannya kalau kita emosian.
Selama kita belum dapat kerjaan yang lebih baik dan menjanjikan, jangan terlalu memaksakan ego sesaat. Kecuali, kamu sudah punya cadangan, atau sudah punya pandangan bisnis lain. Atau ini... kamu juga masih single dan belum banyak tanggungan. Nah, mungkin masih banyak pilihan. Iya sih, semua butuh keberanian, tapi kan kamu juga butuh kepastian? Sampai kapan kira-kira kamu bisa enggak hidup tanpa penghasilan?
Kerja di bidang perfilman, sudah aku dambakan sejak lama. Malahan, ini kayak tingkatan tertinggiku dalam berkarir. Pokoknya suatu saat nanti aku kudu bisa produksi film layar lebar. Embuh gimana caranya. Aku sendiri berusaha cari banyak link, memperbaiki kualitas diri, sampai rajin membaca biar pengetahuanku bertambah.
Beberapa project yang cenderung bikin sakit hati, kayak bayarannya dikit, lama, dan mintanya sekejap mata, sudah berani aku stop. Loh, memangnya enggak butuh uangnya apa? Butuh sih butuh, tapi aku lebih butuh pikiranku tenang. Memelihara sakit hati dan mewajarkan sesuatu yang diluar aturan, lama-lama beban loh.
Aku stop justru untuk memelihara hubungan pertemanan. Misal aku diam, kan enggak menyelesaikan masalah. Mau tetep kerjasama dengan ku? Gampang kok! Yang penting semua fee dibayarkan dulu, baru bisa nentuin mau enggak bergabung dalam project selanjutnya. Deal-nya gampang kan ya.
Sekarang move ke kehidupan sosial yang ternyata enggak kalah ribetnya. Seperti yang kita tahu, kalau kerjaan mah, cenderung punya rasa tanggung jawab karena dibayar sekalian. Lah berorganisasi? Berkomunitas? Bertetangga? Apa enggak asek asek joss namanya.
Jadi gini nih. Setiap dua minggu sekali, pagi-pagi di komplekku diadakan senam sehat ibu-ibu. Bayangannya sih, yang ibu-ibu pada senam, bapak-bapak volly, anak-anak main. Misal lagi enggak bisa gabung karena sakit atau ada satu lain hal, paling enggak, tetap kelihatan deh, biar komplek kelihatan guyub. Sepele banget sebenernya. Dan senam inipun sudah melalui mufakat pas arisan pertama, semua setuju diadakan senam sehat, lalu semua urun duit senam tanpa terkecuali. Nanti, kas senam akan digunakan untuk membayar pelatih, sama bikin makanan untuk konsumsi setelah senam. Intinya, senam enggak senam, semua tetep bayar. Kalau aku, ya ngapain enggak senam? Sudah bayar, deket rumah, bisa sambil momong, guyub rukun, sehat pula!
Tapi, orang kan beda-beda ya. Ada yang memang pas weekend jatahnya family time, ada yang pas kecapekan, atau ada yang memang enggak suka senam. Parahnya, minggu kemarin, senam hanya dihadiri 3 orang saja. Mantap kan?
How to deal with it?
Aku sampai sambat-sambatan sama Suami. Kenapa sih, orang di komplek susah-susah? Mintanya guyub, giliran dikasih kegiatan, zonk. Kebetulan posisiku seksi sosial dan kegiatan. Jadi kalau wayahnya senam, pagi-pagi, aku sama Suami sudah nyiapin alat-alat senam kayak sound system dan woro-woro gitu. Kadang sampai capek ngingetin karena lebih sering lempengnya.
Misal mau baperan nih, aku pasti bakal mencak-mencak di grup besar. Kalau memang enggak pada bisa kan harusnya ngomong sejak lama, bukan dadakan. Lha ini pelatihnya sudah dateng, tapi geng gong enggak ada orang. Mana sudah aku bikinin minuman pula. Anyep bukan?
via GIPHY
Kami berdua ngobrol panjang lebar tentang orang-orang di sekitar lalu ngerasa "Kok kita gini-gini amat sih? Kita yang bego atau jangan-jangan kita nih selalu ambil pusing setiap masalah?" Masalahnya memang kami berdua tuh berasa aktif di setiap kerjaan dan kegiatan.
Mikirnya simple kok, mau dimanapun kami berada, mau apa saja yang kami kerjakan, sebisa mungkin sama kualitasnya. Yes, kami meyakini bahwa quality is a habit. Enggak yang karena bayaran dollar terus desainnya jadi lebih kempling. Enggak yang karena yang ikut event donaturnya banyak, jadi lebih semangat. Enggak yang karena dapet kerjaan lokal, terus dikesampingkan. Semua sama. Kami melatih diri sendiri supaya tetap bergerak, belajar, dan membuka diri. Terserah orang lain mau gimana. Toh kami berpikiran enggak hanya bisa membaur di satu dua tempat saja. Barangkali suatu saat nanti kita dapat kesempatan bekerja di luar negeri, kan alhamdulillah.
Maka kami harus siap. Siap itu gimana? Ya dengan memantaskan diri dan memberikan yang terbaik untuk apa yang bisa kita kerjakan. Btw, aku ngomongin gini kayak motivator ya hahaha, tapi serius deh, ini berpengaruh besar bagi kehidupan kalau kita mau mengerti.
Terus, di sisi lain, aku juga sadar, bahwa sikap manusia enggak bisa disamaratakan. Enggak semua berpikiran sama. Mau bikin event megah nagrong-nangrong, kalau orangnya memang lempeng ya kita mau apa. Mungkin memang ada yang enggak suka rame-rame? Atau males bersosialiasi?Atau enggak suka kegiatan dan lebih milih leyeh-leyeh? Jadi ya bukan salah siapa-siapa sebenernya.
Kami berdua ngobrol panjang lebar tentang orang-orang di sekitar lalu ngerasa "Kok kita gini-gini amat sih? Kita yang bego atau jangan-jangan kita nih selalu ambil pusing setiap masalah?" Masalahnya memang kami berdua tuh berasa aktif di setiap kerjaan dan kegiatan.
Mikirnya simple kok, mau dimanapun kami berada, mau apa saja yang kami kerjakan, sebisa mungkin sama kualitasnya. Yes, kami meyakini bahwa quality is a habit. Enggak yang karena bayaran dollar terus desainnya jadi lebih kempling. Enggak yang karena yang ikut event donaturnya banyak, jadi lebih semangat. Enggak yang karena dapet kerjaan lokal, terus dikesampingkan. Semua sama. Kami melatih diri sendiri supaya tetap bergerak, belajar, dan membuka diri. Terserah orang lain mau gimana. Toh kami berpikiran enggak hanya bisa membaur di satu dua tempat saja. Barangkali suatu saat nanti kita dapat kesempatan bekerja di luar negeri, kan alhamdulillah.
Maka kami harus siap. Siap itu gimana? Ya dengan memantaskan diri dan memberikan yang terbaik untuk apa yang bisa kita kerjakan. Btw, aku ngomongin gini kayak motivator ya hahaha, tapi serius deh, ini berpengaruh besar bagi kehidupan kalau kita mau mengerti.
Terus, di sisi lain, aku juga sadar, bahwa sikap manusia enggak bisa disamaratakan. Enggak semua berpikiran sama. Mau bikin event megah nagrong-nangrong, kalau orangnya memang lempeng ya kita mau apa. Mungkin memang ada yang enggak suka rame-rame? Atau males bersosialiasi?Atau enggak suka kegiatan dan lebih milih leyeh-leyeh? Jadi ya bukan salah siapa-siapa sebenernya.
Aku sendiri berusaha komunikatif terus. Gimana caranya bisa masuk ke si A sampai si Z. Nanti kalau ada apa-apa, minta tolong gimana-gimana, kan paling deket adalah tetangga. Bullshit ah mau cuek selamanya.
Pada akhirnya, mengubah sesuatu harus dari kesadaran masing-masing. Team work butuh orang-orang yang solid. Misal enggak setuju, kudu legowo. Misal pendapatnya disetujui, kudu berani tanggung jawab. Hari gini jarang deh enggak nemuin team work, gimana pun juga orang butuh bertukar pikiran, jarang yang bisa hidup sendirian saja.
It's all about your habit, apakah kamu bisa memberikan yang terbaik bagi dirimu sendiri maupun orang lain?
It's all about you, bagaimana cara kamu bertahan hidup ketika itu sudah menjadi pilihanmu?
Jawabannya, ada di kamu.
It's all about your habit, apakah kamu bisa memberikan yang terbaik bagi dirimu sendiri maupun orang lain?
It's all about you, bagaimana cara kamu bertahan hidup ketika itu sudah menjadi pilihanmu?
Jawabannya, ada di kamu.
1 komentar
Jadi ingat, saya juga pernah jadi koordinator senam istri para pegawai di kantor. Padahal gratis lho dibayarin kantor tapi yang datang dikit banget. Padahal sudah woro-woro di grup atau pas ketemu arisan. Karena capek, akhirnya saya usulkan ke kantor diberhentiin aja, nggak usah dibayarin lagi. Kesabaran saya emang nggak tinggi, huhu.
ReplyDeleteKarena tulisan ini bernada melampiaskan unek-unek di hati,semoga sekarang sudah lega ya mbak ^^