MAMA, KENAPA KITA BERBEDA?
Sudah standartnya kalau anak umur 4 tahun akan lebih banyak bertanya soal kehidupan di sekitar dan apa yang menjadi kegelisahannya. Sebagai orang tua yang apa-apa googling dan apa-apa curhat dulu for the sake of sanity, tentunya aku paham bahwa gimanapun semua pertanyaan harus dijawab dengan sebenar-benarnya. Apapun pertanyaannya, jawab secara jujur, logis, dan jangan pernah membohonginya atau efek buruknya akan lebih panjang.
Jadi seperti yang kita semua suarakan di Indonesia ini sejak kecil, bahwa berbeda-beda tetap satu jua. Beragam budaya, ras, suku, agama, sampai warna kulit yang bagi kita-kita yang sudah besar nalar gini sih enggak masalah. Tapi bagi anak?
Dulu waktu aku SD saja masih banyak loh yang nge-bully temen karena kulitnya hitam, atau rambutnya keriting? Bahkan sampai ada yang dimusuhi dan diasingkan padahal mah kodrat tersebut sudah dari sononya. Menyerang fisik itu acapkali dilakukan demi mendapat kepuasan. Padahal kalau dipikir-pikir, merendahkan fisik seseorang bukankah sama seperti menjelek-jelekkan karya SANG PENCIPTA? Fisik kok jadi bahan becandaan. Lucunya dimana?
Jargon Indonesia punya keragaman, pada prakteknya, enggak semudah diucapkan. Buktinya, sekarang orang masih saja sentimen sama sifat kedaerahan. Buktinya, kita pakai sanggul dan kebaya sebagai identitas Indonesia dibilang enggak sesuai kaidah agama. Buktinya, banyak orang masih berlomba-lomba berkulit putih biar dikatain sempurna.
Dulu waktu aku SD saja masih banyak loh yang nge-bully temen karena kulitnya hitam, atau rambutnya keriting? Bahkan sampai ada yang dimusuhi dan diasingkan padahal mah kodrat tersebut sudah dari sononya. Menyerang fisik itu acapkali dilakukan demi mendapat kepuasan. Padahal kalau dipikir-pikir, merendahkan fisik seseorang bukankah sama seperti menjelek-jelekkan karya SANG PENCIPTA? Fisik kok jadi bahan becandaan. Lucunya dimana?
Jargon Indonesia punya keragaman, pada prakteknya, enggak semudah diucapkan. Buktinya, sekarang orang masih saja sentimen sama sifat kedaerahan. Buktinya, kita pakai sanggul dan kebaya sebagai identitas Indonesia dibilang enggak sesuai kaidah agama. Buktinya, banyak orang masih berlomba-lomba berkulit putih biar dikatain sempurna.
Buatku, semua ke-bullshit-an ini harus segera dienyahnya. Ya paling enggak, aku punya movement kecil untuk generasi bangsa. Seperti ketika sempat Alya bertanya, "Ma, kenapa kita berbeda?", yass gurl, aku sudah ada jawabannya.
Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya. Di telingaku lebih akrab 'mengurusi orang lain' ketimbang mengurus dirinya sendiri. Orang tuh selalu akan menyamaratakan pemikirannya, sebab itu mutlak untuk menjadi patokan. I hope this is not real, but, pengalamanku seperti itu adanya. Entah itu dari keluarga, lingkungan, maupun temen semasa kecil.
Aku inget banget, waktu SD adalah masa yang suram. Bullying datang menyerang karena tubuhku kecil dan pendek. Aku memang kurang dalam pelajaran berhitung dan sains, tapi aku punya sense of art yang cukup baik sehingga sering diikutkan lomba menggambar, menari, atau menyanyi. Cuma ya gimana ya, kelebihanku enggak dianggap tuh. Yang dianggap ya mereka-mereka yang pintar matematika dan IPA sehingga dapet rangking di kelas. Belum lagi pilih kasih karena orang tuanya kaya, kulit si anak putih bersih, rambutnya lurus, atau badannya tinggi.
Sifat-sifat semacam ini nih yang kudu dihilangkan supaya kita memandang perbedaan sebagai hal yang wajar. Ya beda itu enggak apa-apa, justu kadang malah dibutuhkan supaya kita punya keragaman buat saling melengkapi. Kalau boleh saran nih, mbok kita tuh konsen kelebihan saja ketimbang nyari celah kekurangan.
Suamiku pernah bilang, "sejak kecil, kita memang 'diseragamkan'". Which means, ini bagus sih agar kita berlaku adil dan menyamaratakan kelas sosial. Bangga rasanya lihat anak sudah memakai seragam, apalagi kalau sekolahnya tipe sekolah bergengsi dan kompetitif. Tapi di sisi lain, seragam tuh sama saja membatasi ruang gerak dan karakter kita. Bayanganku langsung tertuju pada sekolah Kolese De Britto di Jogja. Di sana seragamnya cuma hari senin doang. Terus hari selasa-sabtu, bebas asal sopan. Sedangkan untuk penampilan, mau kamu gondrong, botak, keriting papan, it's okay asal kamu pintar. Nah, yang gini ini nih yang bikin aku mikir, "kenapa sih, kita enggak dibebaskan sama cara kita berpenampilan?", "Bisa enggak sih, seragam itu enggak kudu setiap hari dan anak dibebaskan memilih apa yang menjadi ciri khasnya?"
Terbukti waktu kuliah, di kampusku kan banyak banget mahasiswa dari mana-mana, jadi ya seada-adanya kita ketemu orang dari timur dengan rambut gimbal, atau bahkan ada juga wanita-wanita yang pakai cadar. Kami semua lebur jadi satu, tanpa memandang perbedaan itu. Paling kalau beda pendapat, ya murni karena berbeda pemikiran, bukan karena karakter penampilan. Ada sih yang pakai hotpants sama baju kutungan ke kampus, tapi kalau masuk kelas ya teteup ganti dengan pakaian sopan. Yang katanya makluk seni itu paling enggak punya aturan, sejatinya kami malah sadar bahwa setiap individu punya pilihan.
Nah, masalah seragam yang aku bahas ini, sampai pernah bikin Alya kaget. "Wah, si C kalau enggak pakai jilbab ternyata keriting ya ma". Atau pernah juga dia nanya, "kenapa sekolahnya si B enggak pakai jilbab?"
Pertanyaan ini sebetulnya ada pas Alya sekolah PAUD. Yang mana sekolah mewajibkannya untuk menjadi sholelah, agama islam yang utama, sampai ada yel yel "islam-islam yes, kafir-kafir no!" May be itu masuk ke kurikulum atau gimana ya, i don't know. Tapi yang jelas, itu PR banget buat ngejelasin, menetralkan lagi menjadi anak kecil yang innocent, dan mengingatkan anak agar tidak mempermasalahkan perbedaan. Well, i think, aku cuma salah milih sekolah sih sebetulnya, dan beruntung TK ini dia sudah jauh berbeda.
Alya sudah mulai nalar dan didukung oleh sekolah TK nya yang baru ini. Di sana memang ada yel-yel "Islam..islam, yes!" Tapi cuma sampai situ saja, enggak dilanjutkan kofar kafir kofar kafir. Ya keleus kita sebagai manusia yang sama berdosanya bisa mengkafirkan orang dengan mudah. Nanti kalau enggak terbukti, malah kita sendiri loh yang kafir sendiri. Okay, pakai menyadur Al-hadist biar tidak dikira HOAX.
Okay, aku enggak mau debat soal agama, karena pasti bakalan panjang dan i'm not that expert. I'm still learning. Menyambung pertanyaan Alya yang aku yakin sih, di luar sana juga banyak anak bertanya soal perbedaan, aku punya jawaban yang cukup masuk akal. Setidaknya sudah aku praktekkin di Alya, dan it works.
Aku bilang ke Alya,
"Coba bayangin deh Al, kita semua itu sama. Kamu sama si A, si B, sama. Hidungmu mancung semua, rambutmu lurus semua, kulitmu putih semua, kalian pengen jadi pilot semua. Terus mama sama kayak ibu-ibu yang lain. Papa juga sama kayak bapak-bapak yang lain. Lalu kita membedakannya dengan apa? Gimana kalau jadi pilot semua? Siapa yang akan jadi petani? Siapa yang akan jadi polisi?"
Di situ Alya kayak mikir gitu sih. Matanya sampai kemana-mana, dan enggak lama kemudian dia mengangguk, "Ooooh iya ma. Alya mudeng"
Konsep perbedaan yang harus ditekankan adalah bagaimana kita semua ini punya ciri khas, punya masing-masing skill yang bisa saling melengkapi. Kalau masih susah menjelaskan, kasih contoh real yang sekiranya dekat dengan anak. Again, jangan mengada-ada. Nanti anak malah terbiasa enggak pakai logika. Kalau Alya, dia tuh suka robocar poli. Ada salah satu video di youtube-nya yang isinya cuma lagu-lagu doang sih, tapi isinya tentang keragaman bahasa, budaya, sampai keajaiban dunia. Alya seneng banget tuh, ngerasa kalau ternyata belajar ragam bahasa asyik juga ya. Terus dia suka juga sama pakaian-pakaian adat dari berbagai penjuru dunia yang bagus-bagus katanya. Lega sih dengernya.
Jadi, menurutku, kalau mau menjelaskan ke anak, kudu didukung sama lingkungan juga. Masa' sudah susah payah kita ajarin di rumah, tapi praktek sosialnya ternyata banyak yang enggak nerima. Ya kan zonk. Paling tidak, ada satu dua gerakan kecil lain supaya anak ngerasa ada bukti, dan sadar bahwa apa yang kita ajarkan itu baik.
Intinya apa? Kita sebagai orang tua lah yang harus menerima dulu. Apakah selama ini kita mempermasalahkan perbedaan atau justru masih terusik jika masih ada yang tidak sesuai sama keinginan kita. Karena sejatinya anak kan cerminan orang tua, betul kan? :)
Terbukti waktu kuliah, di kampusku kan banyak banget mahasiswa dari mana-mana, jadi ya seada-adanya kita ketemu orang dari timur dengan rambut gimbal, atau bahkan ada juga wanita-wanita yang pakai cadar. Kami semua lebur jadi satu, tanpa memandang perbedaan itu. Paling kalau beda pendapat, ya murni karena berbeda pemikiran, bukan karena karakter penampilan. Ada sih yang pakai hotpants sama baju kutungan ke kampus, tapi kalau masuk kelas ya teteup ganti dengan pakaian sopan. Yang katanya makluk seni itu paling enggak punya aturan, sejatinya kami malah sadar bahwa setiap individu punya pilihan.
Nah, masalah seragam yang aku bahas ini, sampai pernah bikin Alya kaget. "Wah, si C kalau enggak pakai jilbab ternyata keriting ya ma". Atau pernah juga dia nanya, "kenapa sekolahnya si B enggak pakai jilbab?"
Pertanyaan ini sebetulnya ada pas Alya sekolah PAUD. Yang mana sekolah mewajibkannya untuk menjadi sholelah, agama islam yang utama, sampai ada yel yel "islam-islam yes, kafir-kafir no!" May be itu masuk ke kurikulum atau gimana ya, i don't know. Tapi yang jelas, itu PR banget buat ngejelasin, menetralkan lagi menjadi anak kecil yang innocent, dan mengingatkan anak agar tidak mempermasalahkan perbedaan. Well, i think, aku cuma salah milih sekolah sih sebetulnya, dan beruntung TK ini dia sudah jauh berbeda.
Alya sudah mulai nalar dan didukung oleh sekolah TK nya yang baru ini. Di sana memang ada yel-yel "Islam..islam, yes!" Tapi cuma sampai situ saja, enggak dilanjutkan kofar kafir kofar kafir. Ya keleus kita sebagai manusia yang sama berdosanya bisa mengkafirkan orang dengan mudah. Nanti kalau enggak terbukti, malah kita sendiri loh yang kafir sendiri. Okay, pakai menyadur Al-hadist biar tidak dikira HOAX.
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh" (HR Bukhari-Muslim)
Okay, aku enggak mau debat soal agama, karena pasti bakalan panjang dan i'm not that expert. I'm still learning. Menyambung pertanyaan Alya yang aku yakin sih, di luar sana juga banyak anak bertanya soal perbedaan, aku punya jawaban yang cukup masuk akal. Setidaknya sudah aku praktekkin di Alya, dan it works.
Aku bilang ke Alya,
"Coba bayangin deh Al, kita semua itu sama. Kamu sama si A, si B, sama. Hidungmu mancung semua, rambutmu lurus semua, kulitmu putih semua, kalian pengen jadi pilot semua. Terus mama sama kayak ibu-ibu yang lain. Papa juga sama kayak bapak-bapak yang lain. Lalu kita membedakannya dengan apa? Gimana kalau jadi pilot semua? Siapa yang akan jadi petani? Siapa yang akan jadi polisi?"
Di situ Alya kayak mikir gitu sih. Matanya sampai kemana-mana, dan enggak lama kemudian dia mengangguk, "Ooooh iya ma. Alya mudeng"
Konsep perbedaan yang harus ditekankan adalah bagaimana kita semua ini punya ciri khas, punya masing-masing skill yang bisa saling melengkapi. Kalau masih susah menjelaskan, kasih contoh real yang sekiranya dekat dengan anak. Again, jangan mengada-ada. Nanti anak malah terbiasa enggak pakai logika. Kalau Alya, dia tuh suka robocar poli. Ada salah satu video di youtube-nya yang isinya cuma lagu-lagu doang sih, tapi isinya tentang keragaman bahasa, budaya, sampai keajaiban dunia. Alya seneng banget tuh, ngerasa kalau ternyata belajar ragam bahasa asyik juga ya. Terus dia suka juga sama pakaian-pakaian adat dari berbagai penjuru dunia yang bagus-bagus katanya. Lega sih dengernya.
Jadi, menurutku, kalau mau menjelaskan ke anak, kudu didukung sama lingkungan juga. Masa' sudah susah payah kita ajarin di rumah, tapi praktek sosialnya ternyata banyak yang enggak nerima. Ya kan zonk. Paling tidak, ada satu dua gerakan kecil lain supaya anak ngerasa ada bukti, dan sadar bahwa apa yang kita ajarkan itu baik.
Intinya apa? Kita sebagai orang tua lah yang harus menerima dulu. Apakah selama ini kita mempermasalahkan perbedaan atau justru masih terusik jika masih ada yang tidak sesuai sama keinginan kita. Karena sejatinya anak kan cerminan orang tua, betul kan? :)
0 komentar