BATTLING MY OWN EGO
Walaupun aku orangnya termasuk friendly, gampang bergaul, humoris, ceria, kelihatan seneng ngasuh anak, kerja juga enjoy, tapi ada kalanya aku cuma diem seribu bahasa, jengah sama keramaian, suntuk, stress, pengen nangis sendiri, dan itu 'meledak' baru-baru ini.
Yes, i've fought my own ego.
Sejak kecil, aku punya temen banyak banget, dari yang kalangan yang tajir melinting, sampai yang kesusahan bareng. Dari yang mudah marah, sampai yang kalem. Dari yang sudah tua, sampai yang masih SMA. Aku seneng, aku jadi punya banyak sudut pandang lain, dan bikin aku lebih relevan dalam memutuskan sesuatu. Makanya, aku selalu bilang dan tanemin kalimat ini dalem-dalem, "setiap orang beda-beda". Ngerti kok, matra ini kayaknya memang gampang dicerna dan bukan hal yang awam, tapi kalau kita sudah ketemu sama ego, semua akan buyar seketika.
Aku inget, dulu, salah satu temen deketku pernah bilang, "yos, kamu kok jarang curhat, aku enggak pernah ngelihat kamu nangis". Dalam artian, entah itu ada masalah keluarga, putus sama pacar, atau nilai jelek di sekolah. Memang, aku sendiri sadar, aku susah banget memercayai orang buat jaga rahasiaku. Enggak sekali dua kali rahasia jadi kemana-mana karena ya itu tadi, lingkup pertemananku banyak. Mungkin bermaksud sharing dan caring ya, cuma kan ada beberapa hal yang enggak perlu semua orang tahu. Jadinya aku kurang percaya sebetulnya ketika aku sendiri bilang "jangan bilang siapa-siapa ya".
Aku lalu agak tertutup soal pribadi, bahkan sama orang tua-ku sendiri. Ya betul, meminta saran dan petuah memang diperlukan, tapi yang utama adalah semua itu di tangan kita. Rasanya kok omong kosong ya kalau kita ngeluh melulu dan curhat sana sini. Aku kalau kebanyakan curhat malah pusing soalnya. Banyak pendapat bikin bingung semua pengen dilakukan. Padahal kitanya harus memfilter dan ingin solusinya segera terpecahkan. Kalau sudah begini, yang mana yang musti didengarkan, di sisi lain, kita yang punya masalah dan kita yang pengen bersuara.
Aku memilih buat memendam dan merahasiakan perasaanku pada siapa-siapa. Sampai aku kenal Suamiku ini, dan lambat laun semua terasa ditanggung bersama. Tapi dalam rumah tangga ternyata juga enggak menutup kemungkinan ada masalah. Dan ketika semua itu tiba, lagi-lagi aku diam seribu bahasa, bisanya marah, enggak tahu mau meluapkan kemana.
Bohong kalau aku bilang aku betah sama kerjaan di rumah. Bohong kalau aku bilang aku gampang cari ide. Bohong kalau aku bilang aku enggak stress karena gajinya seret. Bohong kalau aku bilang aku enggak butuh liburan. Aku enggak mau bohong. Aku kadang muak sama kondisi seperti ini.
Aku ngerti kok, kondisi seperti ini bukan cuma aku yang mengalami. Semua orang berproses sendiri-sendiri. Tapi yang jadi masalah adalah ketika emosi ini enggak terluapkan, lalu akan jadi apa? Berapa lama kita sanggup memendamnya? Apa media yang tepat supaya emosi negatif berubah menjadi positif untuk semua?
Sampai saatnya meledak, aku hilang arah. Semua kerasa pusing di luar dugaan. Kepalaku nyut-nyutan, maunya marah, mataku sembab, inginnya menangis tapi enggak punya daya. Beruntung aku enggak sampai main fisik, mukul-mukul, atau pecah barang. Aku masih setengah sadar kalau aku harus lepas dari jeratan emosi. Aku belum pernah serapuh ini.
I'm seriously, kalau inget itu, aku takut, takut kambuh lagi. Bahkan mungkin bisa lebih parah.
I'm seriously, kalau inget itu, aku takut, takut kambuh lagi. Bahkan mungkin bisa lebih parah.
Enggak mudah mengelola emosi. Suamiku kudu panggil mama, dan akhirnya aku bisa mengungkapkan semua muanya. Dan benar saja, semua kaget karena aku jarang seperti ini. Semua orang nyaris enggak tahu apa masalahku sebenernya, seberapa berat beban yang aku tanggung sendirian. Yes, ketika itu aku ngerasa sendirian. Enggak ada teman. Enggak percaya siapapun.
Setelah drama panjang nangis berjam-jam, perlahan aku bangkit walaupun kepala masih pusing. Rasanya hari itu adalah hari terberat dalam hidupku. Mau jalan saja sempoyongan. Mengasuh Alya juga susah kepegang. Ngurus diri sendiri saja susah, mau ngurus yang lain. Pekerjaanku? Jangankan sempet buka laptop, kepikiran nulis saja enggak ada.
Semingguan aku ngerasa hidupku hampa. Yang aku inget aku cuma pengen keluar dari rutinitas yang membosankan ini. Pengen ngejalanin hari tanpa ada paksaan dan beban. Pengen jadi seorang Yosa Irfiana lagi. Terdengar munafik, biar. Aku lagi enggak peduli. Aku lebih memedulikan kesembuhan mentalku dulu.
Salah satu yang bisa menenangkanku saat itu adalah kembali ke rumah mama. Makan disediain, Alya ada yang ngasuh, enggak mikir kerjaan. Cuma sehari tapi berarti. Aku juga banyakin berkomunikasi sama mama, sama Suami, dan belajar lagi ngatur nafas panjang demi kewarasan. Aku paham, support system semacam ini enggak semua orang bisa dapetin. Aku cukup beruntung.
And now, i feel much better. Aku rutin yoga, atur nafas dan fokus ke energi positif. Install games di handphone just make sure, aku masih punya hiburan lain. Makan makanan yang aku suka banyak-banyak. Mandi air hangat. Karaoke di rumah like no others. Pokoknya apa yang membuatku senang, aku akan lakukan.
Habis short trip juga tipis-tipis sama orang sekomplek. Cuma makan bareng di luar kota sih, tapi it improved my mood. Aku ngerasa ada pelampiasan energi yang bagus. Yang bisa mengalihkan perhatianku ke hal-hal yang lebih penting. Yang lebih penting, i realized that everyone has their own battle. I just need new perspection.
So, if you ask me, how to relief my stress? Sebetulnya tergantung seberapa besar niatan kamu untuk keluar. Selama aku ngerasa depresi, aku enggak menyakiti siapapun. Aku masih tetap baik sama anak, sama tetangga, sama siapa saja yang hubungi aku. I'm not Joker anyway. Aku masih punya harapan besar untuk jadi pribadi yang baik dan bermanfaat. Aku enggak memanfaatkan stress-ku untuk melukai orang, atau berbuat kriminal. No. I'm still a kind person. Everybody approved it.
Habis short trip juga tipis-tipis sama orang sekomplek. Cuma makan bareng di luar kota sih, tapi it improved my mood. Aku ngerasa ada pelampiasan energi yang bagus. Yang bisa mengalihkan perhatianku ke hal-hal yang lebih penting. Yang lebih penting, i realized that everyone has their own battle. I just need new perspection.
So, if you ask me, how to relief my stress? Sebetulnya tergantung seberapa besar niatan kamu untuk keluar. Selama aku ngerasa depresi, aku enggak menyakiti siapapun. Aku masih tetap baik sama anak, sama tetangga, sama siapa saja yang hubungi aku. I'm not Joker anyway. Aku masih punya harapan besar untuk jadi pribadi yang baik dan bermanfaat. Aku enggak memanfaatkan stress-ku untuk melukai orang, atau berbuat kriminal. No. I'm still a kind person. Everybody approved it.
Hari ini aku janji pada diriku sendiri. Aku enggak boleh kalah sama ego, aku harus berdiri sama kuat dengan asa-ku yang sudah kubangun susah payah demi masa depan nan cerah. Aku enggak sedang becanda. It's my turn to be happy on my own way.
0 komentar