HAL-HAL DASAR MENGASUH ANAK
Ngomongin anak memang enggak ada habisnya ya. Ada saja tingkah laku maupun fasenya yang kadang bikin geleng-geleng kepala. Ketika dijalanin memang rasanya sebel, cuma kalau sudah dilalui, justru sering bikin geli sendiri. Oh iya, Alya ini sekarang sudah 4 tahun 8 bulan, di mana anak lebih enak diajak komunikasi dan mudah menangkap apa yang kita beri. Alhamdulillah dalam fasenya Alya, jarang yang ketinggalan, hampir semua sesuai standart-nya. Karena apa? Ya karena aku selalu riwil belajar parenting, baca-baca semua tentang anak, dan ngajarin kalau dirasa ada yang kurang.
Dulu waktu Alya masih bayi, aku sensi berat kalau ada yang banding-bandingin lebih baik. Misalnya Alya terlalu gendut, jadi susah gerak, atau giginya yang terlalu dini tumbuh, yang dikira karena ari-arinya dikubur enggak dalam. Buatku yang tadinya lemah, dan ngaca bahwa aku ini hanya seorang ibu rumah tangga, aku enggak sempet mikir panjang. Hal-hal semacam ini bikin aku emosi dan bisanya nangis doang. Tapi bagusnya, ketika aku kena pressure, aku malah jadi ingin buktiin bahwa aku bisa mendidik anak dengan baik, bahwa Alya anak cerdas, sehat, dan bermanfaat. Dengan cara apa? Aku memantaskan diri dulu, sebagai seorang Ibu yang membanggakan bagi keluarganya.
Aku mikir, misal aku balik syuting dan nurutin tawaran kerjaan, Alya bakal banyak keteteran. Aku enggak akan bisa pulang jam 5 teng. Aku bisa pergi subuh pulang larut. Aku enggak akan punya banyak waktu untuk pumping. Aku hanya bisa melihatnya pas tidur dan banyak melewati fase. Kerjaan syuting enggak bisa buatku nyaman ketika Alya masih kecil.
Terus aku mulai cari jalan lain buat dapetin uang. Mulai dari lanjutin jualan masker, bikin online shop, dan lanjutin hobbyku menulis. Aku juga bikin proposal film, bikin tawaran dan presentasi creative program untuk stasiun televisi, sampai hubungi temen-temen lama. Pokoknya segala cara deh! Intinya, aku sudah jengah kalau melulu momong anak saja. Aku lemes, aku bete, aku enggak suka. Well then, setelah 8 bulan jobless karena aku lebih sering nolak tawaran kerja lapangan, aku akhirnya dapatin job sebagai seorang penulis naskah.
Lega? Jelas, sekarang aku cukup punya power kalau ada yang berani nyinyirin Alya. Kalau boleh sombong, aku bisa mengerjakan pekerjaanku tetap dengan monitoring Alya. Memastikan dia tumbuh sehat, walaupun dia terkena bronkitis, dan aku selalu sedia, ataupun mengajari dia ngaji sampai do'a-do'a.
Namun ketika Alya sudah mulai memasuki fase sekolah, tepatnya sejak umur 2 tahun, aturan membandingkan tampaknya malah makin kentara saja. Yang katanya tiap anak itu unik dan punya tingkatan kecerdasan yang berbeda, pada akhirnya juga dikasih semacam rangking kelas dan tetap harus mengejar yang ketinggalan. Ini masih TK loh, bagaimana kalau sudah SD? SMP? SMA? Alya umur 4 tahun belum bisa roda 2 saja, aku ketar-ketir! Rasanya kok enggak mungkin aku menutup mata sama kecerdasan anak lain seusianya.
Akhirnya aku sadari sendiri, bahwa membandingkan itu enggak melulu soal sakit hati. Kalau kita mau menarik garis sisi positif, tentunya ada untuk perkembangan diri. Nah, aku terapkan ke Alya. Misal dirasa ada yang kurang, aku kasih dia pengertian, aku kasih contoh yang bermaksud untuk menyemangatinya. Pun ketika dia berhasil melakukan sesuatu, aku pasti bersorak lebay demi membangkitkan ketertarikannya.
Aku punya beberapa catatan yang sampai hari ini masih aku terapkan dalam mengasuh Alya. Enggak usah muluk-muluk dulu, anak harus bisa ina inu. Pokoknya, aku memantau dan mengajarinya langsung supaya dia bisa mengikuti standart anak-anak seumurannya.
1. MEMAHAMI TUMBUH KEMBANG
Aku mikir, misal aku balik syuting dan nurutin tawaran kerjaan, Alya bakal banyak keteteran. Aku enggak akan bisa pulang jam 5 teng. Aku bisa pergi subuh pulang larut. Aku enggak akan punya banyak waktu untuk pumping. Aku hanya bisa melihatnya pas tidur dan banyak melewati fase. Kerjaan syuting enggak bisa buatku nyaman ketika Alya masih kecil.
Terus aku mulai cari jalan lain buat dapetin uang. Mulai dari lanjutin jualan masker, bikin online shop, dan lanjutin hobbyku menulis. Aku juga bikin proposal film, bikin tawaran dan presentasi creative program untuk stasiun televisi, sampai hubungi temen-temen lama. Pokoknya segala cara deh! Intinya, aku sudah jengah kalau melulu momong anak saja. Aku lemes, aku bete, aku enggak suka. Well then, setelah 8 bulan jobless karena aku lebih sering nolak tawaran kerja lapangan, aku akhirnya dapatin job sebagai seorang penulis naskah.
Lega? Jelas, sekarang aku cukup punya power kalau ada yang berani nyinyirin Alya. Kalau boleh sombong, aku bisa mengerjakan pekerjaanku tetap dengan monitoring Alya. Memastikan dia tumbuh sehat, walaupun dia terkena bronkitis, dan aku selalu sedia, ataupun mengajari dia ngaji sampai do'a-do'a.
Namun ketika Alya sudah mulai memasuki fase sekolah, tepatnya sejak umur 2 tahun, aturan membandingkan tampaknya malah makin kentara saja. Yang katanya tiap anak itu unik dan punya tingkatan kecerdasan yang berbeda, pada akhirnya juga dikasih semacam rangking kelas dan tetap harus mengejar yang ketinggalan. Ini masih TK loh, bagaimana kalau sudah SD? SMP? SMA? Alya umur 4 tahun belum bisa roda 2 saja, aku ketar-ketir! Rasanya kok enggak mungkin aku menutup mata sama kecerdasan anak lain seusianya.
Akhirnya aku sadari sendiri, bahwa membandingkan itu enggak melulu soal sakit hati. Kalau kita mau menarik garis sisi positif, tentunya ada untuk perkembangan diri. Nah, aku terapkan ke Alya. Misal dirasa ada yang kurang, aku kasih dia pengertian, aku kasih contoh yang bermaksud untuk menyemangatinya. Pun ketika dia berhasil melakukan sesuatu, aku pasti bersorak lebay demi membangkitkan ketertarikannya.
Aku punya beberapa catatan yang sampai hari ini masih aku terapkan dalam mengasuh Alya. Enggak usah muluk-muluk dulu, anak harus bisa ina inu. Pokoknya, aku memantau dan mengajarinya langsung supaya dia bisa mengikuti standart anak-anak seumurannya.
1. MEMAHAMI TUMBUH KEMBANG
Yang jadi catatan pertama, aku selalu baca dan sharing tentang parenting supaya tahu bahwa walaupun anak itu ada keunikannya sendiri-sendiri, tapi paling enggak aku tahu bahwa seumuran ini harus bisa apa. Kalau belum bisa aku harus ngapain?
Seperti saat Alya umur 1 tahun dan dia belum bisa berjalan dengan lancar, aku ketar-ketir pakai banget. Aku sudah stimulasi macem-macem, kayak menyuruhnya berjalan di atas rumput, ajakin lari-larian, kasih moon walker, menghentikan baby walker, sampai membawanya keluar rumah biar dia bisa lihat sendiri teman-teman seumurannya sudah pada bisa jalan. Bukan malah tambah bisa jalan, yang ada, kadang Alya malah minder dan malas. Mungkin aku salah cara kali ya. Mungkin bahasaku kurang dimengerti untuk anak seumuran 1 tahun juga. Atau jangan-jangan dia ini trauma suatu hal?
Aku sampai bingung dan bilang sama Suami, misal Alya 14 bulan belum bisa jalan, kita harus cari alternatif lain. Seperti pijat biar cepat jalan, atau ke klinik tumbang anak. Karena gimanapun, hal-hal kecil kayak gini harus secepetnya dipahami orang tua, daripada terlambat.
Kemudian, enggak tahu gimana ceritanya, ternyata tepat 14 bulan, Alya lancar jalan dan lari! Aku ngiranya, dia memang kurang stimulasi fisiknya kala itu. Aku lebih mentingin stimulasi otak dan mengajaknya bercerita. Oh dan satu hal, mungkin ya ini, mungkin. Dulu aku sering was-was banget kalau Alya melakukan adegan berbahaya seperti naik-naik kasur dan kursi. Terus karena was-was itulah aku jadi agak membatasi ruang geraknya. Jadinya, Alya kurang berani eksplor dan selalu minta dijagain. My bad. Makanya, aku belajar dari itu semua.
Seperti saat Alya umur 1 tahun dan dia belum bisa berjalan dengan lancar, aku ketar-ketir pakai banget. Aku sudah stimulasi macem-macem, kayak menyuruhnya berjalan di atas rumput, ajakin lari-larian, kasih moon walker, menghentikan baby walker, sampai membawanya keluar rumah biar dia bisa lihat sendiri teman-teman seumurannya sudah pada bisa jalan. Bukan malah tambah bisa jalan, yang ada, kadang Alya malah minder dan malas. Mungkin aku salah cara kali ya. Mungkin bahasaku kurang dimengerti untuk anak seumuran 1 tahun juga. Atau jangan-jangan dia ini trauma suatu hal?
Aku sampai bingung dan bilang sama Suami, misal Alya 14 bulan belum bisa jalan, kita harus cari alternatif lain. Seperti pijat biar cepat jalan, atau ke klinik tumbang anak. Karena gimanapun, hal-hal kecil kayak gini harus secepetnya dipahami orang tua, daripada terlambat.
Kemudian, enggak tahu gimana ceritanya, ternyata tepat 14 bulan, Alya lancar jalan dan lari! Aku ngiranya, dia memang kurang stimulasi fisiknya kala itu. Aku lebih mentingin stimulasi otak dan mengajaknya bercerita. Oh dan satu hal, mungkin ya ini, mungkin. Dulu aku sering was-was banget kalau Alya melakukan adegan berbahaya seperti naik-naik kasur dan kursi. Terus karena was-was itulah aku jadi agak membatasi ruang geraknya. Jadinya, Alya kurang berani eksplor dan selalu minta dijagain. My bad. Makanya, aku belajar dari itu semua.
2. JANGAN MEMAKSA
Poin kedua yang enggak kalah penting. Yas, memaksa adalah hal yang membuat pusing, dan tahukah kalian kalau anak pun bisa stress? Sayangnya, kebanyakan orang tua enggak menyadari hal ini. Padahal, stress biasanya dimulai dari rasa kewalahan akibat banyakan tekanan dari luar dan dalam diri seseorang yang telah berlangsung cukup lama. Anak yang stress cenderung mudah menangis, suka merengek, ngompol, mimpi buruk, takut gelap, rewel, bahkan sulit tidur.
Kalau sudah begini, peran orang tua harus makin terlihat, ya dengan membangun bonding lebih kuat, dan menunjukkan support system yang sesungguhnya. Salah satu yang enggak bisa lepas dari emosi ini adalah, kita sebagai orang tua, jangan memaksa anak jika itu dirasa anak kurang nyaman.
Aku mikir nih ya, kadang kan aku pengen nih supaya Alya cepat bisa kalau diajarin sesuatu, misalnya bersepeda. Tapi, Alya sempet juga cemberut dan melakukannya setengah hati. Alya enggak suka makin di-press. Dia bisa berontak dan teriak "Jangan maksa to maaah!!!" Sisi postifinya dia bisa speak up dan enggak memendam perasaan. Sisi negatifnya, dia kadang juga menggunakan kalimat ini kalau malas belajar.
Solusinya? Ke poin selanjutnya.
3. AJAK BERKOMUNIKASI DUA ARAH
Nomor 3, komunikasi 2 arah. Ini solusi terbaik jika anak sudah bisa diajak bicara. Tapi enggak tahu ya, sejak dulu waktu masih kecil, aku nganggep Alya selalu bisa komunikasi sih walaupun cuma babbling. Kayak misal mau makan, makan apa, enak enggak, kok dilepeh kenapa? Aku amati gestur dan cara dia merespon sesuatu. Kalau tidak suka geleng kepala, kalau suka dia senyum. Mendasar sih, tapi ngaruh buat ke depannya.
Kalau kita tanggap dan ikutan merespon, anak juga akan terlatih dengan sendirinya. Nah, sekarang kan dia sudah bisa ngomong macem-macem tuh, dia juga sudah bisa diajak diskusi. Contoh paling sering adalah ketika dia milih les. Aku kan pengennya Alya bisa musik biar bisa meneruskan warisan keroncong dari eyangnya, tapi anaknya enggak mau. Maunya les renang. Well, aku tetap memberikannya pengaruh dalam hal bermusik, seperti menyanyi bareng, gitar bareng, dan memberikan edukasi tentang musik yang baik. Yang penting itu dulu, masalah nanti dia tertarik atau enggak, jelas aku enggak bisa maksa, alias balik ke poin nomor 2.
4. MENYELESAIKAN MASALAH
Paham kok, mau gimanapun cara kita mengasuh dan mendidik anak, suatu saat nanti anak pasti tetap akan menemukan pengalaman negatifnya. Entah itu kecewa, sedih, marah, atau dendam. Tapi pasti kalian sudah tahu kan, kalau pengenalan emosi pada anak itu penting biar dia enggak kaget ke depannya? Nah, kita sebagai orang tua memang perlu berhati-hati, namun enggak menutup kemungkinan harus membiarkan anak mencari solusi sendiri dari masalahnya.
Bagaimanapun manusia harus punya jiwa mandirinya. Kalau dia lagi sendiri dan enggak ada tempat untuk berbagi, ya insting saja sih, dengan cara apa harus menyelesaikan masalahnya.
Aku berkali-kali ketemu sama orang tua model yang: kalau anaknya jatuh sendiri, yang disalahin lantainya, atau mengalihkannya dengan kodoknya sudah lari. Hal-hal semacam ini sangat sensitif buat anak. Takutnya, kalau dia punya masalah, yang disalahin yang lainnya. Kalau sepedanya nabrak, yang disalahin pohonnya. Kalau mobilnya nabrak, yang disalahin tiangnya. Lha wong benda mati kok disalahin, kan enggak logis ya.
Alya sendiri sekarang sudah cukup paham dalam hal ini. Yang paling kentara adalah jika dia di sekolah dan jauh dari orang tuanya. Kalau dia dinakalin temannya, dia bisa membela diri dan bilang, "aku enggak dibolehin mamaku nakal. Tapi kalau ada yang nakal duluan, memangnya mau dibalas?" Which means, Alya ini sudah mudeng dan sesuai dengan brief-ku. Aku memang enggak suka anak yang nakal-nakalan, berantem dengan cara yang enggak sehat, dan bikin lingkungan enggak nyaman. But, aku juga enggak mau membiarkan Alya di-bully terus-terusan hanya karena umurnya paling kecil. Alya harus bisa nangkep kalau makin gedhe makin banyak masalah. I let Alya solve the problem by herself lah intinya.
Paham kok, mau gimanapun cara kita mengasuh dan mendidik anak, suatu saat nanti anak pasti tetap akan menemukan pengalaman negatifnya. Entah itu kecewa, sedih, marah, atau dendam. Tapi pasti kalian sudah tahu kan, kalau pengenalan emosi pada anak itu penting biar dia enggak kaget ke depannya? Nah, kita sebagai orang tua memang perlu berhati-hati, namun enggak menutup kemungkinan harus membiarkan anak mencari solusi sendiri dari masalahnya.
Bagaimanapun manusia harus punya jiwa mandirinya. Kalau dia lagi sendiri dan enggak ada tempat untuk berbagi, ya insting saja sih, dengan cara apa harus menyelesaikan masalahnya.
Aku berkali-kali ketemu sama orang tua model yang: kalau anaknya jatuh sendiri, yang disalahin lantainya, atau mengalihkannya dengan kodoknya sudah lari. Hal-hal semacam ini sangat sensitif buat anak. Takutnya, kalau dia punya masalah, yang disalahin yang lainnya. Kalau sepedanya nabrak, yang disalahin pohonnya. Kalau mobilnya nabrak, yang disalahin tiangnya. Lha wong benda mati kok disalahin, kan enggak logis ya.
Alya sendiri sekarang sudah cukup paham dalam hal ini. Yang paling kentara adalah jika dia di sekolah dan jauh dari orang tuanya. Kalau dia dinakalin temannya, dia bisa membela diri dan bilang, "aku enggak dibolehin mamaku nakal. Tapi kalau ada yang nakal duluan, memangnya mau dibalas?" Which means, Alya ini sudah mudeng dan sesuai dengan brief-ku. Aku memang enggak suka anak yang nakal-nakalan, berantem dengan cara yang enggak sehat, dan bikin lingkungan enggak nyaman. But, aku juga enggak mau membiarkan Alya di-bully terus-terusan hanya karena umurnya paling kecil. Alya harus bisa nangkep kalau makin gedhe makin banyak masalah. I let Alya solve the problem by herself lah intinya.
5. KENALKAN PADA LINGKUNGAN
And the last one, mengenalkan lingkungan yang nyambung sama poin 4. Aku enggak mau Alya kaget sama dunia yang besar dan kadang jumawa. Ada yang baik, ada juga yang jahat. Ada yang sukanya mukul, ada juga yang kalem. Ada yang pinter matematika, ada yang pinter agama. Ada yang berjilbab, ada juga yang pakai kaos saja. Ada cowok suka makeup, ada juga cewek tomboy. Semua itu ada, semua orang berbeda.
Alya sempat nanya ketika ada seorang pria setengah baya lewat dan pakai baju pink. Dia bilang kenapa cowok pakai baju pink. Terus aku kasih tahu kalau warna itu tidak mengenal jenis kelamin. Contohnya ya Suamiku. Dia kalau design ya enggak melulu dibikin rustic dan gelap. Tapi ada kalanya dia berani menggambar pakai warna feminine dan cerah ceria. Semua disesuaikan kondisi. Nah, kalau ada cowok suka warna pink, ya enggak apa-apa. Preference orang juga beda-beda.
Dalam mengasuh anak, semua butuh kesepakatan sih sesuai pengalamanku. Alya sekarang sudah bisa menyadari sendiri bahwa pilihan itu enggak bisa dipaksakan, dan semua punya ketertarikan yang enggak sama. Kesemua poin di atas pada akhirnya berkesinambungan, enggak bisa lepas satu sama lain.
Baik orang tua maupun anak harus kompak kalau mau jadi enak. Sama-sama nyaman itu paling dibutuhkan. Aku memang masih banyak-banyak-banyak salah dan kekurangan, tapi aku yakin, kalau aku juga mau belajar, paling enggak mendengarkan saja apa perasaan anak, sudah bentuk gerakan kecil bahwa aku bertanggungjawab mendambakannya lahir di dunia.
And the last one, mengenalkan lingkungan yang nyambung sama poin 4. Aku enggak mau Alya kaget sama dunia yang besar dan kadang jumawa. Ada yang baik, ada juga yang jahat. Ada yang sukanya mukul, ada juga yang kalem. Ada yang pinter matematika, ada yang pinter agama. Ada yang berjilbab, ada juga yang pakai kaos saja. Ada cowok suka makeup, ada juga cewek tomboy. Semua itu ada, semua orang berbeda.
Alya sempat nanya ketika ada seorang pria setengah baya lewat dan pakai baju pink. Dia bilang kenapa cowok pakai baju pink. Terus aku kasih tahu kalau warna itu tidak mengenal jenis kelamin. Contohnya ya Suamiku. Dia kalau design ya enggak melulu dibikin rustic dan gelap. Tapi ada kalanya dia berani menggambar pakai warna feminine dan cerah ceria. Semua disesuaikan kondisi. Nah, kalau ada cowok suka warna pink, ya enggak apa-apa. Preference orang juga beda-beda.
Dalam mengasuh anak, semua butuh kesepakatan sih sesuai pengalamanku. Alya sekarang sudah bisa menyadari sendiri bahwa pilihan itu enggak bisa dipaksakan, dan semua punya ketertarikan yang enggak sama. Kesemua poin di atas pada akhirnya berkesinambungan, enggak bisa lepas satu sama lain.
Baik orang tua maupun anak harus kompak kalau mau jadi enak. Sama-sama nyaman itu paling dibutuhkan. Aku memang masih banyak-banyak-banyak salah dan kekurangan, tapi aku yakin, kalau aku juga mau belajar, paling enggak mendengarkan saja apa perasaan anak, sudah bentuk gerakan kecil bahwa aku bertanggungjawab mendambakannya lahir di dunia.
0 komentar