MENIKAH BUKAN UNTUK MEMBATASI
Nyambung ke statusku di Instagram soal menikah, karena, yah, ternyata banyak juga ya yang curhat soal hubungan dengan pasangan. Aku paham kok, tiap pasangan punya komitmennya sendiri-sendiri, ya kayak berumah tangga, tiap aturan kan pasti berdasar atas kondisi. Tapi aku sempet heran juga soal pasangan yang sukanya melarang-larang tanpa alasan yang jelas. Dan banyakan itu hal-hal sepele loh, semacam: enggak boleh main sama temen lama, enggak boleh dateng reuni, enggak boleh lama-lama bertetangga, boro-boro, apalagi kok sampai kejar karir. Ngimpi!
Jadi, yuk bahas ini.
Berawal dari temen lama-ku yang tiba-tiba japri via Whatsapp. Dia nanya, "Yosa, kamu enggak dilarang Suami kamu ya kejar karir, jalan-jalan sendiri, dan ketemu temen lama?"
Sebelumnya, ada yang lebih parah lagi, ada temen SMA yang pernah nanya gini: "Yosa, enak ya kamu dibolehin kerja dan ketemu teman-teman oleh Suami kamu".
Aduh, sebetulnya aku mau jawab langsung tapi bingung. Mau bilang, "Ya iyalah.. ngapain dilarang-larang?" atau "Memangnya kamu enggak boleh?", tapi aku mikir panjang sih ketimbang jadi debat enggak berkesudahan, dan bikin sama-sama enggak enak hati. So, aku lebih milih jawab, "iya nih boleh, Alhamdulillah"
Suamiku pernah bilang, ada kok beberapa wanita yang memilih passion-nya sebagai ibu rumah tangga. Enjoy berada di rumah, berkreasi sama masakan, fokus ke parenting, atau bahkan enggak masalah mau punya anak berapa. But, kayaknya yang model begini ini satu banding seribu ya.
Bacain curhatan tentang karir seorang Ibu yang harus dipendam gara-gara sudah punya anak, terus ada juga yang dikekang kemana-mana enggak boleh banyak sosialisasi, buatku adalah hal yang sangat memojokkan. Dengan dibalut cuplikan ayat-ayat yang berisi tentang wanita, aku kok merasa enggak adil ya. Mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi semata. Kadang pakai embel-embel 'kodrat wanita', belum-belum sudah bikin wanita lemah tak berdaya. Misalpun berontak, pasti jatuhnya tetap wanita yang disalahkan.
Aku enggak sekali dua kali nemu cerita model gini, baik via internet, maupun bertemu langsung korban yang mengalami. Dulu waktu masih sering syuting reality show (yang sering dibilang menjual kesedihan), aku justru banyak menemukan cerita yang unpredictable, mengharukan, sampai kadang bikin sesek.
Ada yang diperkosa temen Ayahnya, lalu dibuang keluar dari rumah. Alhasil dia hamil dan melahirkan, dan hidup berdua mengais rezeki sama anaknya.
Ada juga yang disuruh jadi pembantu rumah tangga biar keadaan rumah mencukupi, tapi Suaminya malah foya-foya sama perempuan lain.
Ada pula yang enggak bisa bercerai karena Suaminya mengancam akan membunuh dan bikin malu keluarga.
Nah, kalau sudah menikah bisa apa! Menikah kadang bisa menjadi penjara.
Beranjak dari beberapa cerita yang aku temui tersebut, ternyata memang tidak semua berani speak up. Berani menjawab saja kayaknya sudah salah besar, apalagi kok memutuskan masalah. Yang seperti ini nih, yang kadang bikin aku miris dan pengen support sesama wanita.
Sebelum nikah, aku sudah saling berkomitmen dan saling memahami satu sama lain. Aku mulai belajar mengerti hobby-nya apa, siapa temen-temen yang cocok sama dia, gimana cara dia memperlakukan aku, merencanakan besok mau punya anak berapa, sampai bahas keuangan tipis-tipis. Ini saja aku masih ngerasa kurang, karena pas sudah nikah, jujur banyak banget hal-hal yang enggak aku duga. Mulai dari kebiasaan tidur di depan TV, makan telat, klumbrak klumbruk pakaian, sampai dari aku yang judesnya amit-amit segala macam sifat dipermasalahkan. Padahal aslik! Dulu pas sebelum nikah selalu bilang, "aku menerima segala kekurangan dan kelebihan kamu, aku menerima kamu apa adanya". Lha tapi giliran cuma masalah sepele speaker komputer enggak dimatikan saja, jadi berantem. Yang katanya 'menerima kekurangan' mana? Pret!
Ini aku loh, yang banyak orang bilang cocok lahir batin sama Suamiku. Terdengar sangat harmonis memang, tapi ada kalanya kami berantem dan adu pendapat seperti layaknya teman biasa.
Iya, aku nakut-nakutin kalian yang belum menikah, supaya kalau menikah itu pilih yang bener-bener satu prinsip, satu visi, satu misi. Tujuan kalian menikah karena apa? Karena Allah, karena cinta, apa karena terpaksa? Kalau dari awal komitmen dan bentengnya sudah kokoh duluan, nanti begitu ada masalah di tengah jalan, kalian akan kembali lagi ke pertanyaan awal.
Walaupun begitu, kita enggak bisa mengubah orang dalam waktu sekejap dan dengan ego kita. Berubah lebih baik demi kenyamanan bersama itu bagus, tapi jangan lupa, we are still who we are as humans being. Kita punya origins kita, where we come from. Meleburkan perbedaan butuh masing-masing kesadaran dan niat kuat.
Makanya, please please please, sebelum menikah kudu dikenali dulu siapa calon kamu itu. Dari mana dia berasal atau seberapa besar dia mencintai kamu. Jangan sampai sudah nikah kalian kaget. Kaget kalau ternyata dia lebih milih omongan keluarganya ketimbang masukan kamu. Kaget kalau ternyata kerjaannya enggak terlalu menjanjikan sedangkan orangnya sangat idealis. Kaget kalau ternyata dia nuntut kita membatasi ruang gerak kita.
Menikah, sejatinya bukan untuk membatasi, namun untuk mendorong lebih baik lagi. Apa yang kamu dambakan sebelum nikah, jika semua sepakat, bisa kok dilanjutkan setelah menikah. Misalnya, kayak studi S2. Ada juga kok temenku yang enjoy their life after marriage. Lanjutin sekolah di luar negeri tampak lebih mengasyikkan dengan Suami dan anak.
Menikah itu tumbuh bersama. Kamu dan pasangan bisa eksplor apapun yang kalian suka. Entah dengan masing-masing karyanya, atau bikin project bareng. Makanya, dari awal banget kudu diomongin nih, mau punya anak berapa atau ditunda? Kalau punya anak gimana cara ngurusnya, pola asuhnya, sampai gimana sekolahnya. Itu penting banget dibicarain.
Walaupun sudah menikah, kamu masih bisa jajan bareng temen-temenmu. Masih bisa zumba. Masih bisa nonton gigs. Masih bisa ambil kursus. Masih bisa ke salon. Kalau kamu mau dan butuh. Iya, nanti memang ada asas prioritas, tapi asas tersebut enggak bisa mengurungmu dan membatasi ruang gerakmu.
So, once again, sebelum menikah pastiin dulu, kamu benar-benar suka sama dia dan ada feedback-nya? Keburu umur atau terpojok ditanyain orang? Nasehatku, jika kamu suka, kamu nyaman, then let it flow. But if it hurts you, don't be denial. Menipu diri sendiri itu lebih menyakitkan ketimbang ditinggal. Kenali diri sendiri, karena dengan begitu, kamu bisa menyelamatkan apapun dari apa yang menjeratmu.
Suamiku pernah bilang, ada kok beberapa wanita yang memilih passion-nya sebagai ibu rumah tangga. Enjoy berada di rumah, berkreasi sama masakan, fokus ke parenting, atau bahkan enggak masalah mau punya anak berapa. But, kayaknya yang model begini ini satu banding seribu ya.
Bacain curhatan tentang karir seorang Ibu yang harus dipendam gara-gara sudah punya anak, terus ada juga yang dikekang kemana-mana enggak boleh banyak sosialisasi, buatku adalah hal yang sangat memojokkan. Dengan dibalut cuplikan ayat-ayat yang berisi tentang wanita, aku kok merasa enggak adil ya. Mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi semata. Kadang pakai embel-embel 'kodrat wanita', belum-belum sudah bikin wanita lemah tak berdaya. Misalpun berontak, pasti jatuhnya tetap wanita yang disalahkan.
Aku enggak sekali dua kali nemu cerita model gini, baik via internet, maupun bertemu langsung korban yang mengalami. Dulu waktu masih sering syuting reality show (yang sering dibilang menjual kesedihan), aku justru banyak menemukan cerita yang unpredictable, mengharukan, sampai kadang bikin sesek.
Ada yang diperkosa temen Ayahnya, lalu dibuang keluar dari rumah. Alhasil dia hamil dan melahirkan, dan hidup berdua mengais rezeki sama anaknya.
Ada juga yang disuruh jadi pembantu rumah tangga biar keadaan rumah mencukupi, tapi Suaminya malah foya-foya sama perempuan lain.
Ada pula yang enggak bisa bercerai karena Suaminya mengancam akan membunuh dan bikin malu keluarga.
Nah, kalau sudah menikah bisa apa! Menikah kadang bisa menjadi penjara.
Beranjak dari beberapa cerita yang aku temui tersebut, ternyata memang tidak semua berani speak up. Berani menjawab saja kayaknya sudah salah besar, apalagi kok memutuskan masalah. Yang seperti ini nih, yang kadang bikin aku miris dan pengen support sesama wanita.
Sebelum nikah, aku sudah saling berkomitmen dan saling memahami satu sama lain. Aku mulai belajar mengerti hobby-nya apa, siapa temen-temen yang cocok sama dia, gimana cara dia memperlakukan aku, merencanakan besok mau punya anak berapa, sampai bahas keuangan tipis-tipis. Ini saja aku masih ngerasa kurang, karena pas sudah nikah, jujur banyak banget hal-hal yang enggak aku duga. Mulai dari kebiasaan tidur di depan TV, makan telat, klumbrak klumbruk pakaian, sampai dari aku yang judesnya amit-amit segala macam sifat dipermasalahkan. Padahal aslik! Dulu pas sebelum nikah selalu bilang, "aku menerima segala kekurangan dan kelebihan kamu, aku menerima kamu apa adanya". Lha tapi giliran cuma masalah sepele speaker komputer enggak dimatikan saja, jadi berantem. Yang katanya 'menerima kekurangan' mana? Pret!
Ini aku loh, yang banyak orang bilang cocok lahir batin sama Suamiku. Terdengar sangat harmonis memang, tapi ada kalanya kami berantem dan adu pendapat seperti layaknya teman biasa.
Iya, aku nakut-nakutin kalian yang belum menikah, supaya kalau menikah itu pilih yang bener-bener satu prinsip, satu visi, satu misi. Tujuan kalian menikah karena apa? Karena Allah, karena cinta, apa karena terpaksa? Kalau dari awal komitmen dan bentengnya sudah kokoh duluan, nanti begitu ada masalah di tengah jalan, kalian akan kembali lagi ke pertanyaan awal.
Walaupun begitu, kita enggak bisa mengubah orang dalam waktu sekejap dan dengan ego kita. Berubah lebih baik demi kenyamanan bersama itu bagus, tapi jangan lupa, we are still who we are as humans being. Kita punya origins kita, where we come from. Meleburkan perbedaan butuh masing-masing kesadaran dan niat kuat.
Makanya, please please please, sebelum menikah kudu dikenali dulu siapa calon kamu itu. Dari mana dia berasal atau seberapa besar dia mencintai kamu. Jangan sampai sudah nikah kalian kaget. Kaget kalau ternyata dia lebih milih omongan keluarganya ketimbang masukan kamu. Kaget kalau ternyata kerjaannya enggak terlalu menjanjikan sedangkan orangnya sangat idealis. Kaget kalau ternyata dia nuntut kita membatasi ruang gerak kita.
Menikah, sejatinya bukan untuk membatasi, namun untuk mendorong lebih baik lagi. Apa yang kamu dambakan sebelum nikah, jika semua sepakat, bisa kok dilanjutkan setelah menikah. Misalnya, kayak studi S2. Ada juga kok temenku yang enjoy their life after marriage. Lanjutin sekolah di luar negeri tampak lebih mengasyikkan dengan Suami dan anak.
Menikah itu tumbuh bersama. Kamu dan pasangan bisa eksplor apapun yang kalian suka. Entah dengan masing-masing karyanya, atau bikin project bareng. Makanya, dari awal banget kudu diomongin nih, mau punya anak berapa atau ditunda? Kalau punya anak gimana cara ngurusnya, pola asuhnya, sampai gimana sekolahnya. Itu penting banget dibicarain.
Walaupun sudah menikah, kamu masih bisa jajan bareng temen-temenmu. Masih bisa zumba. Masih bisa nonton gigs. Masih bisa ambil kursus. Masih bisa ke salon. Kalau kamu mau dan butuh. Iya, nanti memang ada asas prioritas, tapi asas tersebut enggak bisa mengurungmu dan membatasi ruang gerakmu.
So, once again, sebelum menikah pastiin dulu, kamu benar-benar suka sama dia dan ada feedback-nya? Keburu umur atau terpojok ditanyain orang? Nasehatku, jika kamu suka, kamu nyaman, then let it flow. But if it hurts you, don't be denial. Menipu diri sendiri itu lebih menyakitkan ketimbang ditinggal. Kenali diri sendiri, karena dengan begitu, kamu bisa menyelamatkan apapun dari apa yang menjeratmu.
0 komentar